Thursday, August 21, 2014

Politik Anggaran Pemerintahan Baru

Yuna Farhan  ;   Mahasiswa PhD University of Sydney
KOMPAS, 19 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

TERAKHIR kali di ujung masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015 beserta nota keuangan kepada DPR. Presiden mengatakan, APBN kali ini berbeda karena disusun pada masa pemerintahannya dan dijalankan oleh pemerintahan berikutnya. Presiden juga menyatakan memberikan ruang fiskal yang cukup untuk digunakan oleh presiden terpilih pada APBN Perubahan.

Jika ditelisik secara mendalam, pemerintahan SBY meninggalkan warisan politik anggaran yang berat bagi pemerintahan baru, baik dalam konteks transisi maupun dalam menjalankan pemerintahannya ke depan. Tantangan politik anggaran ini dapat dieksaminasi dari sisi substansi anggaran dan sisi kerangka institusional. Dari sisi substansial anggaran, setidaknya terdapat dua warisan SBY yang akan menjadi tantangan ke depan, yakni keterbatasan ruang fiskal atau ruang gerak pemerintahan baru untuk mewujudkan janji-janji kampanyenya dan keseimbangan primer yang negatif.

Ruang fiskal dan keseimbangan primer

Tercatat sejak 2009, ruang fiskal APBN berada pada kisaran 30 persen. Terbatasnya ruang fiskal ini diakibatkan semakin membengkaknya belanja wajib atau mengikat, seperti gaji pegawai, subsidi, dan bunga utang.

Keterbatasan ruang fiskal, dalam istilah Wildavky (1974), hanya menjadikan penganggaran sebagai praktik inkrementalis, atau sebagai produk negosiasi politik rutin antar-aktor eksekutif dan legislatif yang bertemu setiap tahun dan memutuskan anggaran berdasarkan anggaran sebelumnya karena ruang fiskal yang terbatas.

Tidak kalah mengkhawatirkan, pemerintahan baru juga akan menghadapi anggaran dengan kondisi keseimbangan primer negatif. Keseimbangan primer negatif dalam anggaran kita mulai terjadi sejak 2012 atau sejak pemerintah menerapkan sistem anggaran baru. Meskipun pemerintah mengklaim rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) mengalami penurunan, keseimbangan primer yang negatif menunjukkan pendapatan negara tidak lagi mampu menutupi belanja di luar pembayaran bunga utang. Artinya, untuk membayar bunga utang, perlu pokok utang baru.

Sementara dari kerangka institusional, aspek teknis perumusan APBN transisi dan fragmentasi politik juga menjadi persoalan besar pemerintahan ke depan. Dari sisi teknis penyusunan, dengan tidak dilibatkannya Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam penyusunan APBN 2015, hal itu akan sulit untuk mengharapkan pemerintahan baru nanti bisa merealisasikan program-programnya pada 2015.

Kendati terdapat peluang untuk melakukan perubahan APBN, hal ini tak akan banyak mengubah keadaan. Selain karena waktu penyusunan dan pembahasan APBN Perubahan yang relatif lebih singkat, pemerintah baru juga tidak mungkin melakukan perombakan anggaran dan program secara signifikan sejalan dengan programnya.

Penyebabnya, program-program dalam APBN 2015 telah disusun melalui proses panjang dan mengakomodasi program- program berdasarkan aspirasi pemerintah daerah. Dalam keadaan normal, APBN Perubahan hanya mengakomodasi tambahan anggaran untuk program yang telah ditetapkan ataupun pergeseran dan pengurangan. Jarang terdapat kasus APBN Perubahan dapat mengalokasikan program atau kegiatan baru.

Jika pun pemerintah memaksa mengalokasikan program baru, sebagai konsekuensinya, realisasi anggaran menjadi tidak optimal karena keterbatasan waktu realisasi. Terkecuali, pemerintah dapat segera melakukan percepatan perubahan APBN.

Fragmentasi politik

Tantangan Jokowi-JK yang tidak kalah berat adalah fragmentasi parpol, baik dari sisi internal di koalisi pemerintahan maupun eksternal di legislatif sebagai konsekuensi dari sistem pemilu proporsional. Dalam literatur politik ekonomi, tingginya fragmentasi politik pada koalisi pemerintahan berakibat pada tingginya tingkat defisit karena anggota parpol koalisi pemerintahan memiliki motivasi untuk terpilih kembali pada pemilu berikutnya, dengan jalan mengalokasikan anggaran sesuai preferensi basis konstituennya dan pemerintah dihadapkan keterbatasan sumber daya (problem common pool resource) (Parson et al 2007).

Dalam hal ini, Jokowi-JK diuntungkan karena didukung lebih sedikit parpol dan berkomitmen untuk mengurangi unsur parpol dalam kabinet yang akan disusunnya. Maka, jika Jokowi-JK mampu mengapitalisasi dukungan rakyat untuk mengeliminasi kepentingan politik praktis anggota koalisi, sangat mungkin fragmentasi anggaran dapat dihindari.

Pasalnya, hal ini tidak mudah diredam pada tingkat legislatif mengingat karena partai-partai nonpemerintahan akan menguasai kursi lebih banyak pada legislatif periode mendatang, kecuali ada perubahan peta kekuatan koalisi di DPR. Tak ayal, pembahasan anggaran legislatif menjadi arena politik terpanas kedua setelah pemilu. Bukan tidak mungkin, pemerintahan Jokowi-JK, jika memerintah, akan terus tersandera untuk melakukan negosiasi dengan partai-partai nonpemerintah dalam membagi-bagi kue anggaran.

Terlebih lagi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang baru disahkan melegalisasi praktik pork barrel (gentong babi—yakni praktik terkait perilaku politisi yang menggunakan uang negara untuk kepentingan politiknya, dan bukan untuk kepentingan rakyat yang diwakili) dalam anggaran. Pasal 80 huruf j UU ini menyatakan, salah satu hak anggota DPR adalah untuk mengusulkan program pembangunan daerah pemilihannya, dan Pasal 110 huruf e, yang menegaskan salah satu tugas Badan Anggaran adalah melakukan sinkronisasi usulan program daerah pemilihan.

Tidak akan mengherankan jika partai-partai nonpemerintah ini tidak tergoda bergabung dalam pemerintahan Jokowi-JK dan terus melakukan penyanderaan karena memiliki sumber daya ”gentong babi” untuk merawat konstituennya.

Konsekuensinya, legalisasi dana aspirasi ini, selain akan menggerus ruang fiskal untuk merealisasikan program pemerintah, juga akan merusak sistem dana perimbangan dan dana desa yang baru saja diterapkan. Tak ayal, kesenjangan fiskal antardaerah ataupun desa akan kian melebar dan kebijakan anggaran tidak efektif karena terfragmentasi.

Perbaikan kerangka dan kelembagaan anggaran

Adanya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 27/2009 tentang MD3 merupakan peluang yang baik bagi Jokowi untuk memperbaiki kerangka hukum dan kelembagaan anggaran saat ini dalam menjinakkan syahwat kepentingan politik pragmatis. Putusan MK itu sebenarnya mempertegas peran DPR dalam membahas anggaran. Dalam konteks usulan program daerah pemilihan, secara konstitusional MK mendasarkan keputusannya pada pertimbangan bahwa DPR telah terlalu jauh memasuki kewenangan eksekutif. Dengan demikian, usulan program daerah pemilihan pun telah melampaui kewenangan legislatif.

Pemerintahan Jokowi-JK sepatutnya segera mengagendakan perubahan UU Keuangan Negara untuk mendesain kerangka kelembagaan penganggaran yang dapat mengeliminasi parpol dan membatasi kewenangan mengubah anggaran serta menciptakan ruang insentif bagi partai-partai politik pemerintah dan nonpemerintah untuk menangkal usulan program-program pragmatis (Martin & Vanberg, 2013). Tak kalah penting, sepanjang Jokowi tidak amnesia atas dukungan rakyat yang mengantarkannya ke kursi presiden, maka mengapitalisasi dukungan rakyat untuk merevolusi tradisi transaksional politik anggaran merupakan keniscayaan untuk mewujudkan sebesar-besarnya anggaran guna kemakmuran rakyat.

Tantangan Politik Anggaran


Yuna Farhan  ;   Mahasiswa PhD University of Sydney, 
Peneliti Senior Fitra
KOMPAS,  07 Juli 2014
                                                


SEBAGAI instrumen politik dan ekonomi, anggaran negara memiliki peran besar untuk menilai arah keberpihakan suatu rezim. Pergantian rezim yang akan berlangsung dalam hitungan hari merupakan waktu yang tepat untuk mengidentifikasi apa saja warisan politik anggaran pemerintah sebelumnya dan sejauh mana visi-misi pasangan capres-cawapres yang berkontestasi menyikapi warisan itu.

Warisan SBY

Setidaknya politik anggaran suatu rezim dapat dilihat dari hasil kinerja, substansi kebijakan, dan institusional. Dari segi kinerja ekonomi, banyak kalangan menilai pemerintahan SBY cukup berhasil. Meskipun target pertumbuhan ekonomi pemerintahan SBY berada di bawah janji kampanyenya, yakni 7 persen, pemerintah cukup berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen, di tengah ketidakpastian atau melambatnya perekonomian dunia.

Meskipun demikian, kualitas pertumbuhan ekonomi tersebut bisa dikatakan cukup rendah, dengan indeks rasio gini sebagai indikator yang mengukur kesenjangan pendapatan terus mengalami peningkatan.  Pada tahun 2005, saat SBY pertama kali menjabat, indeks gini rasio berada pada angka 0,36 dan meningkat menjadi 0,41 pada tahun 2013.

Tidak hanya berpengaruh dalam performa ekonomi, besarnya kesenjangan kesejahteraan juga berimplikasi pada kesenjangan politik yang menjadi lahan subur bagi mengguritanya oligarki. Winters (2013) mencatat kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia setara 10 persen PDB, di mana kaum oligarki ini membajak demokrasi prosedural untuk mempertahankan dan memperbesar kekayaan mereka dengan jalan membeli atau mendirikan partai politik, media, dan juga mengucurkan uang dalam kontestasi politik.

Menguatnya oligarki ini juga dirangsang oleh kebijakan perpajakan yang tak berkeadilan. Kajian Prakarsa dan Infid (2014) menyebutkan tarif pajak tertinggi hanya 30 persen untuk kelompok berpendapatan di atas Rp 500 juta per tahun, tak membedakan dengan pendapatan orang-orang superkaya dengan penghasilan di atas Rp 10 miliar per tahun.

Dari sisi kebijakan anggaran, selain masih rendahnya rasio pajak, presiden mendatang juga akan dihadapi dengan ruang fiskal yang terbatas. Artinya, siapa pun presiden terpilih, tanpa adanya upaya meningkatkan rasio pajak dan pengurangan belanja wajib, mereka  hanya memiliki keleluasaan dalam mengalokasikan anggaran sesuai dengan prioritas programnya kurang dari 30 persen anggaran negara.

Selain itu, dari sisi pembiayaan, meskipun rasio utang terhadap PDB mengalami penurunan,  untuk pertama kalinya pada tahun 2012, anggaran mengalami negatif keseimbangan primer, di mana pendapatan tidak mampu menutupi belanja di luar pembayaran bunga utang. Artinya, untuk membayar bunga utang memerlukan pokok utang baru.

Sementara pada aspek institusional, perlu diapresiasi komitmen SBY terhadap keterbukaan informasi anggaran, yang ditandai dengan meningkatnya skor indeks keterbukaan anggaran Indonesia (Open Budget Index) yang dikeluarkan oleh International Budget Partnership (2012) dari 42 pada tahun 2006 menjadi 62 pada tahun 2012, bahkan tertinggi di Asia Tenggara. Meskipun demikian, transparansi anggaran ini belum diikuti dengan menguatnya akuntabilitas anggaran. Tercatat, selama masa pemerintahan SBY, terdapat 48 anggota DPR dan 2 menteri aktif terjerat kasus korupsi.

Visi-misi politik anggaran capres

Suka atau tidak suka, realitas politik saat ini, kedua pasangan capres dan cawapres tersandera oleh oligarki, di tengah mahalnya ongkos kontestasi. Boleh jadi, kaum oligarki ini akan menagih ongkos konstestasi pasangan terpilih dengan kembali memeras anggaran negara. Sayangnya,  ketimpangan sumber daya material sebagai media suburnya oligarki belum mendapatkan perhatian serius dari kedua pasang capres-cawapres.

Memang pasangan Prabowo-Hatta secara khusus mematok target mengurangi indeks gini menuju 0,31. Sayangnya target ini terlalu ambisius dan tidak mungkin dicapai dalam kurun waktu lima tahun pemerintahan. Berdasarkan data OECD, negara yang mampu menurunkan indeks gini, Yunani dan Turki, selama kurun waktu 12 tahun (1995-2008), masing-masing hanya mampu menurunkan 0,03 (dari 0,34 ke 0,31) dan 0,08 (dari 0,49 ke 0,41).

Sementara pasangan Jokowi-JK tidak menetapkan target khusus untuk mengurangi ketimpangan pendapatan ini. Namun, pasangan ini mencoba menutup pintu masuk penyanderaan oligarki melalui program pendanaan partai politik dan kampanye. Pasangan ini juga tengah mencoba penggalangan dana publik untuk kampanye sebagai upaya mengeliminasi utang kontestasi pada saat berkuasa.

Terkait kebijakan fiskal,  kedua pasang capres-cawapres berani mematok target peningkatan rasio pajak 16 persen  dari PDB. Namun, perubahan tarif pajak  yang berkeadilan sebagai sumber ketimpangan  tidak disinggung oleh kedua pasangan.

Dari sisi kebijakan anggaran, Prabowo-Hatta menjanjikan belanja sebagai instrumen pemerataan. Meski tak disinggung soal keterbatasan ruang fiskal dan cenderung normatif, pasangan ini memiliki kebijakan untuk melakukan efisiensi belanja, meminimalkan kebocoran anggaran, mengurangi subsidi. Selain itu, kebijakan itu juga cenderung kontradiktif dan sekadar menarik simpati publik, seperti kenaikan tunjangan profesi guru, merekrut guru, dan menaikkan gaji yang berkonsekuensi menggerus ruang fiskal.

Pasangan nomor urut satu ini  menargetkan peningkatan belanja negara cukup ambisius hingga  Rp 3.400 triliun atau setara dengan proporsi peningkatan belanja masa pemerintahan SBY selama dua periode. Prabowo-Hatta juga menargetkan menurunkan defisit anggaran hingga 1 persen dan utang luar negeri baru menjadi nol pada 2019. Sayangnya, terlepas dari keterbatasan ruang, target-target fantastis ini tak disertai dengan kebijakan apa yang akan ditempuh mencapai target tersebut.

Sementara kebijakan anggaran pasangan nomor urut dua memang secara spesifik memiliki program penguatan kapasitas fiskal disertai dengan penjabaran kebijakan yang lebih terinci. Namun, program prioritas ini belum disertai target-target yang lebih terukur. Arah politik anggaran pasangan ini cukup jelas menitikberatkan kebijakan pada penguatan daerah sebagai ujung tombak pelayanan publik melalui instrumen desentralisasi fiskal yang bersifat asimetris sesuai kebutuhan daerah. Kebijakan ini dapat dikatakan merupakan terobosan untuk mengatasi kesenjangan pembangunan antardaerah.

Dari sisi institusional, khususnya transparansi anggaran, meskipun secara khusus tidak secara eksplisit memasukkan isu transparansi anggaran, pasangan Jokowi-JK memiliki tujuh prioritas program terkait keterbukaan informasi publik,  dan juga menjamin adanya partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan pemerintah.

Sementara Prabowo-Hatta tidak memiliki program khusus untuk isu institusional terkait peran serta masyarakat dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Terakhir, di luar dari visi-misi kedua pasang capres-cawapres, implikasi politik anggaran ke depan juga dapat dibedah dari ukuran dan fragmentasi koalisi partai politik yang mengusung, di mana semakin besar fragmentasi koalisi partai pendukung berkonsekuensi semakin besar belanja negara yang terfragmentasi dan berakibat pada defisit (Wehner, 2010).

Pengalaman masa pemerintahan SBY, belanja cenderung meningkat setelah dibahas DPR, khususnya pada kementerian-kementerian yang diduduki oleh partai politik koalisi pendukung. Namun, hal ini bisa diantisipasi jika presiden terpilih berani membentuk kabinet kerja, bukan sekadar bagi-bagi kursi kekuasaan dan melubrikasi kepentingan oligarki.

Petahana Senayan

KESUNYIAN yang melanda ”gedung Senayan” akhir-akhir ini sudah dapat diprediksi sebelumnya, yakni ketika sekitar 90 persen penghuninya mencalonkan kembali pada pertarungan politik April mendatang.
Dapat dipastikan para petahana Senayan ini akan berlomba kembali menarik simpati para pemilih dan menebar janji-janji demi mempertahankan kursi empuknya di parlemen.
Sorotan publik terhadap tingkat kehadiran anggota DPR sebenarnya bukan hal baru. Upaya yang dilakukan pun sudah cukup banyak, mulai dari penerapan finger print, penerapan sanksi, sampai wacana potong gaji.
Memasuki tahun politik, menurunnya tingkat kehadiran petahana Senayan menimbulkan persoalan lebih pelik. Negara tidak hanya dirugikan karena harus membayar gaji anggota DPR yang tidak hadir. Praktik ini bisa juga dikatakan sebagai cara-cara korup untuk terpilih kembali, bahkan akan melanggengkan praktik korupsi politik yang akan terus berulang, ketika hampir sebagian besar petahana kembali berlaga pada pemilu mendatang.
Tiga modus

Dalam praktik demokrasi langsung, petahana memang memiliki keuntungan sendiri. Setidaknya ada tiga modus yang menguntungkan petahana legislatif dalam konstestasi mendatang.
Pertama, melalui kebijakan alokasi anggaran yang menguntungkan petahana DPR. Petahana legislatif bisa mengarahkan anggaran dengan motif keuntungan pribadi maupun melayani konstituennya untuk memenangi pemilu (Sutter, 1999). Meski DPR bukan pelaksana anggaran, tetapi dengan fungsi anggaran yang dimilikinya, kebijakan anggaran dapat diarahkan untuk menarik simpati pemilih melalui dana optimalisasi ataupun bantuan sosial.
Dana optimalisasi hasil pembahasan APBN 2014 oleh DPR, misalnya, menghasilkan optimalisasi anggaran sebesar Rp 24 triliun. Meskipun dana ini dikelola kementerian/lembaga dalam bentuk proyek, tetapi melalui negosiasi kepada kementerian/lembaga yang memperoleh dana ini, bisa saja program atau proyeknya diarahkan ke daerah pemilihan (dapil) tertentu. Padahal, dapil tersebut tidak memerlukan program atau proyek itu.
Hal yang sama terjadi pada bantuan sosial, yang jumlahnya meningkat dari Rp 55,8 triliun pada RAPBN 2014 jadi Rp 73,1 triliun setelah dibahas DPR dan ditetapkan menjadi APBN 2014. Terbuka peluang terjadinya transaksi antara anggota legislatif dan kementerian untuk menitipkan bantuan sosial ke arah dapilnya.
Kedua, sebagai petahana, berbagai fasilitas dan tunjangan yang melekat pada DPR tidak bisa dilepaskan pada saat berlaga sebagai calon legislator. Johnston dan Pattie (2009), misalnya, menemukan berbagai fasilitas yang dimiliki petahana legislatif untuk berhubungan dengan konstituen atas nama menjalankan fungsinya, meningkatkan peluang keterpilihan dengan biaya kampanye yang lebih sedikit dibandingkan penantangnya.
Berdasarkan catatan FITRA (2013), terjadi kenaikan anggaran reses DPR tahun 2013 jadi Rp 1,2 miliar per orang untuk 11 kali kunjungan. Dengan dalih kunjungan kerja di luar masa reses, pantas saja gedung DPR akhir-akhir ini makin sunyi, demi melakukan kampanye dengan berbagai fasilitas yang melekat.
Ketiga, dengan sistem pemilu proporsional daftar terbuka, tetapi akuntabilitas laporan dana kampanye berada pada partai politik, ditambah tidak adanya batasan belanja kampanye, juga merupakan faktor pendorong petahana Senayan terjerembab dalam atmosfer korupsi politik. Dengan sistem proporsional terbuka, dorongan persaingan caleg di dalam maupun di luar partai politik, serta ketidakpastian untuk memenangi pemilu, mendorong kecenderungan petahana untuk melakukan korupsi, mencari sumber-sumber dana ilegal untuk membiayai kampanyenya (Chang, 2005).
Tiga modus keuntungan petahana legislatif ini akan menjadi mata rantai korupsi politik yang terus berulang. Banyaknya anggota legislatif periode 2009–2014 yang terjerat kasus korupsi sebenarnya hanyalah puncak gunung es dari korupsi politik di lembaga ini, sekaligus mengonfirmasi sebagai episentrum terjadinya korupsi politik.
Mereka akan terus menciptakan celah-celah yang menguntungkan dirinya agar dapat mempertahankan kursi empuk di legislatif. Dengan sistem politik yang korup, hanya para politisi korup yang dapat memperoleh keuntungan untuk melanggengkan kekuasaanya (Evrenk, 2011).
Memutus mata rantai

Memutus siklus korupsi politik bukan perkara mudah. Salah satu upaya yang dianggap efektif dan diadopsi di banyak negara adalah pembatasan masa jabatan legislatif. Melalui pembatasan masa jabatan untuk dipilih kembali, hal itu akan mengurangi hasrat petahana untuk mengumpulkan biaya kampanye selama menjabat untuk memenangi pemilu berikutnya, karena sudah tidak memenuhi kriteria untuk dipilih kembali lame-duck (Sutter, 1999).
Memang dengan pembatasan masa jabatan untuk dipilih kembali akan mengurangi atau menghilangkan kesempatan politisi baik untuk dipilih kembali dan mengurangi semangatnya untuk bekerja secara serius. Namun, dengan cara ini pemilih akan meningkatkan standar dalam memilih petahana, dan petahana harus berupaya memenuhi standar tersebut jika ingin terpilih kembali (Bernhardt dkk, 2004).
Sebenarnya dari lembaga trias politika di Indonesia, yudikatif dan eksekutif sudah memiliki batasan yang tegas terkait pembatasan masa jabatan untuk mengeliminasi penyalahgunaan kekuasaan. Sayangnya, ini tidak berlaku bagi legislatif.
Padahal, dengan batasan dapat dipilih kembali, kaderisasi di partai politik juga akan berjalan dan dapat mengurangi terjadinya oligarki di partai politik. Pada sisi lain, politisi korup di legislatif, yang juga akibat lingkungan korup dapat dipangkas karena munculnya politisi-politisi baru yang bebas dari kontaminasi para seniornya. Dengan demikian, sistem politik yang korup juga akan terdegradasi dengan sendirinya.
Sangat disayangkan, tahun lalu uji materi terhadap UU Pemilu mengenai batasan jabatan legislatif justru kandas, ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), dengan dalih jabatan legislatif yang bersifat kolegial sehingga kecil kemungkinan melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Sepertinya MK belum melihat realitas korupsi politik di lembaga legislatif ini sebagai bahan pertimbangan dalam putusannya.
Kesempatan berada di tangan rakyat sudah di depan mata. Perhelatan pemilu yang akan digelar pada April mendatang sudah seharusnya menjadi momentum untuk memangkas siklus korupsi politik. Jika pada saat sudah terpilih saja anggota DPR pemalas tidak menjalankan amanat para pemilihnya, lalu apakah layak mereka untuk dipilih kembali?
Yuna Farhan, Peneliti Senior FITRA; Mahasiswa PhD University of Sydney
Dimuat di harian Kompas, 10 Maret 2014