Friday, May 17, 2013

Politisasi Anggaran Tahun Pemilu


Beberapa minggu terakhir, wacana kenaikan harga bahan bakar minyak dan menteri yang mencalonkan sebagai anggota legislatif menghiasi wajah berbagai media. Menjelang kontestasi Pemilu 2014, kedua isu ini memiliki keterkaitan yang kuat.
Dalam literatur politik ekonomi, kajian yang mengaitkan siklus pemilu dengan kebijakan fiskal dikenal sebagai political budget cycles (PBCs). Dalam kaitan ini, sudah menjadi fenomena umum petahana kerap menggunakan instrumen kebijakan anggaran menjelang pemilu untuk mendongkrak keterpilihannya kembali (Roggof, 1990).
Politisasi anggaran menjelang pemilu hadir melalui berbagai bentuk. Sebutlah seperti perubahan pola pada struktur anggaran secara agregat ataupun spesifik.
Manipulasi fiskal
Menjelang pemilu, penerimaan anggaran akan cenderung menurun dan belanja meningkat dengan diikuti defisit yang besar. Secara khusus, kenaikan belanja-belanja sosial dan yang bersifat ekspansi ekonomi juga sebagai penanda eksistensi PBCs.
Boleh jadi pemilih lebih peduli pada belanja publik yang dialokasikan lebih besar daripada kondisi defisit yang terjadi. Rakyat kebanyakan lebih nyaman dengan belanja infrastruktur padat karya dan dana bantuan langsung tunai (BLT) meskipun utang negara terus meningkat.
Kehadiran manipulasi fiskal di tahun pemilu dapat terjadi pada negara berkembang dan baru dalam berdemokrasi. Tingkat korupsi yang tinggi, terjadinya asimetri informasi anggaran, diskresi fiskal pada eksekutif, dan polarisasi politik juga menjadi media suburnya praktik PBCs (Alt dan Lassen, 2005; Streb, Lema, dan Torrens, 2005). Kriteria tersebut terpenuhi dalam konteks Indonesia saat ini.
Tarik ulur opsi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang telah genap berumur satu tahun dibahas sejak APBN Perubahan 2012 mendeskripsikan kebijakan fiskal lebih kental didominasi pertimbangan politik kekuasaan menjelang pemilu. Meskipun UU APBN 2013 memberikan diskresi kepada pemerintah untuk mengurangi beban subsidi BBM, pemerintah tidak serta-merta berani mengambil risiko kehilangan popularitas menjelang pemilu karena kebijakan ini.
Melempar persoalan ini ke legislatif merupakan langkah aman. Tujuannya, getah dari kebijakan tidak populer ini tidak menjadi sasaran pada partai berkuasa saja, tetapi merupakan keputusan bersama seluruh partai politik di DPR. Sementara DPR berada pada posisi dilematis. DPR mau tidak mau harus menyetujui kenaikan harga BBM bersubsidi atau defisit akan jebol, dan BLT sebagai kompensasinya. BLT dianggap sebagai obat mujarab menangkal kekecewaan publik.
Kalkulasi politiknya, kenaikan harga BBM secara signifikan tak akan memengaruhi preferensi pemilih di kalangan kelas menengah. Sebagai kompensasinya, BLT yang terbukti efektif menjadi instrumen menarik simpati pemilih pada pemilu lalu dapat digunakan kembali hingga menjelang Pemilu 2014. Kalangan masyarakat awam dengan literasi fiskal rendah akan sangat sulit membedakan terjadinya politisasi kebijakan BLT.
Jika ”manipulasi fiskal” absen, akan muncul bentuk lain untuk memengaruhi pemilih walaupun tidak mengubah seluruh anggaran, melainkan cukup komposisi anggaran. Dalam konteks ini, PBCs dapat hadir dalam bentuk peningkatan belanja sosial seperti BLT dengan target kalangan miskin.
Menteri menjadi caleg
Sinyalamen ini juga terlihat dari adanya kenaikan bantuan sosial pada 10 kementerian yang dikuasai enam partai politik koalisi. Fitra (2012) melihat kecenderungan adanya kenaikan bantuan sosial pada 10 kementerian tersebut dari Rp 22 triliun pada tahun 2012 menjadi Rp 26,5 triliun tahun 2013.
Karena itu, terbuka peluang menteri yang juga calon anggota legislatif (caleg) melakukan manipulasi fiskal sebagai instrumen kampanye. Dalam konteks tersebut, petahana tidak hanya terdefinisi sebagai pejabat yang mencalonkan kembali untuk jabatan yang sama, tetapi juga mereka berniat mempertahankan posisi sosial eksklusif kelompoknya pada pemerintahan melalui akses terhadap sumber-sumber kekayaan, sebagaimana istilah oligarki yang dikemukakan Winters (2011).
Tidak hanya dalam bentuk bantuan sosial, menteri calon anggota legislatif juga dapat mengakses sumber-sumber lain yang berasal dari anggaran negara. Menteri dapat memanfaatkan iklan layanan masyarakat kementeriannya untuk melakukan kampanye gratis. Misalnya, menampilkan keberhasilan kinerjanya ataupun program-program populis untuk mendongkrak keterpilihannya.
Boleh jadi praktik ini tidak dianggap ”tabu” dan menjadi kewajaran politik. Pasalnya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD justru memberikan legalisasi melalui pengecualian bakal calon anggota legislatif yang masih menjabat sebagai menteri tidak diharuskan untuk mengundurkan diri.
Meski kerangka hukum yang tersedia tidak memadai, praktik ini mencederai asas pemilu yang adil, alih-alih akan memperkuat kaum oligarkis dan para kartel politik melakukan pembajakan negara.
Bencana demokrasi
Dengan banyaknya kasus korupsi yang melibatkan elite politik saat ini, bukan tidak mungkin premis Winters mengenai oligarki di Indonesia mengalami perwujudannya. Tidak hanya PBCs—siklus anggaran politik—yang akan terjadi, tetapi juga tingkatan yang paling ekstrem, yakni menjadi political corruption cycle atau siklus korupsi politik pada tahun-tahun pemilu.
Dengan model politik oligarki seperti itu, sulit mengharapkan legislatif menjalankan mekanisme check and balance dapat bekerja efektif. Karena itu, diperlukan ruang untuk mengisi mekanisme penyeimbang untuk menguji kebijakan fiskal yang diambil pemerintah. Pemilih harus memperoleh informasi fiskal yang simetri sehingga dapat menilai apakah kebijakan fiskal sesuai dengan realitas atau sekadar alat merebut hati konstituen.
Jika tidak, demokrasi yang seharusnya bisa menjadi alat untuk mencapai cita-cita bernegara malah berbalik arah menjadi bumerang. Bencana demokrasi akan terus menimpa bangsa ini jika elite politisi oportunis kembali berkuasa mengeruk uang negara yang ongkosnya pun berasal dari negara dengan instrumen ”manipulasi fiskal”.
Mungkinkah politisasi anggaran efektif bekerja pada Pemilu 2014? Hanya dua kemungkinan bisa terjadi, sesuai temuan Brender dan Drazen (2003): pertama, sudah terbukti secara luas dapat mendukung perolehan suara; kedua, pemilih justru menghukum petahana yang melakukan manipulasi fiskal. 

Yuna Farhan
SekJen FITRA
Dimuat Harian Kompas, 16 Mei 2013

Tuesday, May 14, 2013

Sandera Pegawai pada APBD

PENGELOLAAN keuangan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah (otoda) merupakan denyut nadi untuk mencapai tujuan otoda. Namun, alih-alih menjadi instrumen untuk menyejahterakan masyarakat daerah, APBD tersandera oleh beban belanja birokrasi daerah yang kian besar dari tahun ke tahun.

Berdasar kajian Fitra (2012), pada 2011 terdapat 298 daerah yang mengalokasikan separo lebih APBD untuk belanja pegawai, lalu meningkat menjadi 302 daerah pada 2012. Bahkan, 11 daerah mengalokasikan lebih dari 70 persen anggaran untuk belanja pegawai. Akibatnya, belanja modal untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sangat sempit.

Lebih repot lagi, Februari lalu presiden mewacanakan untuk menaikkan gaji 1.040 kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang dengan sadar atau tidak juga akan menaikkan gaji 15.000 anggota DPRD di seluruh Indonesia. 

Persoalan itu tidak semata-mata kesalahan daerah. Sistem desentralisasi fiskal yang berlaku menjadi akar besarnya beban belanja pegawai, khususnya pada kabupaten/kota. Rata-rata daerah mengandalkan 80 persen sumber pendapatannya dari dana perimbangan yang berasal dari pusat. Padahal, 70 persen di antaranya hanya sudah bersifat earmarked untuk membiayai pegawai, misalnya dana alokasi umum (DAU) serta tunjangan penghasilan guru. 

DAU justru memberikan insentif terhadap membengkaknya belanja pegawai sekaligus disinsentif bagi daerah yang belanja pegawainya efisien karena tidak ingin jatah DAU berkurang. Formula perhitungan DAU dengan mempertimbangkan kebutuhan belanja pegawai sebagai alokasi dana dasar memicu daerah tidak ambil pusing untuk membiayai atau merekrut pegawai baru dan memekarkan diri. 

Ruang fiskal yang bisa digunakan daerah untuk menyejahterakan masyarakatnya juga sangat terbatas. Sebagian besar anggaran daerah sudah bersifat terikat, misalnya DAU yang lebih banyak digunakan oleh pegawai, DAK yang sudah ditetapkan peruntukannya, begitu pula dana penyesuaian seperti BOS dan tunjangan guru. 

Sementara hanya sebagian kecil kabupaten/kota yang memperoleh DBH (dana bagi hasil). Daerah juga diwajibkan memberikan dana pendamping DAK 10 persen dan dana pendamping PNPM (program nasional pemberdayaan masyarakat) 20 persen-40 persen. Praktis kondisi itu menggambarkan daerah tak lebih hanya sebagai "tukang catat" anggaran pada APBD-nya. 

Sedangkan menggali sumber pendapatan asli daerah sulit dilakukan. Mengingat taxing power atau kewenangan daerah memungut pajak dibatasi karena bersifat closed list sesuai dengan UU No 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Penyanderaan itu terjadi bukan karena kelebihan jumlah pegawai. Jika dibandingkan dengan negara lain, rasio pegawai negeri terhadap penduduk di Indonesia belum ideal, bah­kan lebih rendah daripada negara-negara tetangga. Namun, lebih kepada pemerataan dan model pembiayaan pegawai yang tidak efektif. 

Wacana pemerintah untuk membatasi belanja pegawai daerah maksimal 50 persen dari APBD tidak serta-merta bisa menyelesaikan beratnya beban daerah, sepanjang dana transfer dari pusat memang dalam bentuk belanja pegawai dan memberikan insentif terhadap penggemukan birokrasi. 

Bervariasinya tingkat kepadatan dan jumlah penduduk, kondisi geografis, serta kemampuan keuangan daerah tidak bisa diselesaikan secara simetris melalui pembatasan belanja pegawai. Justru bisa saja daerah yang belanja pegawainya sudah efisien akan meningkatkan hingga batas 50 persen. 

Perlu diuji solusi mengalihkan beban belanja pegawai kabupaten/kota ke provinsi. Pertama, karena kapasitas fiskal provinsi jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kabupaten/kota. Rata-rata pendapatan provinsi 50 persen bersumber dari PAD. Juga taxing power yang dimiliki provinsi lebih besar, misalnya pajak kendaraan bermotor, hotel, dan restoran. 

Kedua, skala kewenangan yang dimiliki provinsi lebih sedikit jika dibandingkan dengan kabupaten/kota yang harus melakukan pelayanan publik secara langsung. Kewenangan provinsi lebih banyak pada urusan lintas kabupaten/kota. Sebagai wakil pusat, kebanyakan kewenangan provinsi bersifat supervisi, koordinasi, monitoring, dan evaluasi. Tidak heran, selama ini potret belanja provinsi lebih banyak dialokasikan dalam bentuk belanja bantuan keuangan pada kabupaten/kota. Beban belanja pegawai provinsi juga jauh lebih sedikit, rata-rata hanya 18 persen pada 2012.

Ketiga, pengalihan belanja pegawai ke provinsi menjadikan peran dan kewenangan provinsi lebih jelas sebagai wakil pemerintah pusat. Provinsi bisa mengatur pengendalian dan pemerataan pegawai dari sisi kuantitas dan kualitas. Pemerintah pusat juga akan lebih mudah dalam melakukan reformasi birokrasi. Dengan rentang kendali pada tingkat provinsi, pusat dapat meminimalkan terjadinya politisasi birokrasi. Juga perlu diikuti dengan adanya perubahan skema dana perimbangan ke provinsi dan kabupaten/kota yang berorientasi pada besarnya skala kewenangan dan cakupan layanan publik. 

Revisi RUU Pemda yang saat ini dalam tahap pembahasan di DPR sudah seharusnya dapat menyelesaikan penyanderaan birokrasi anggaran daerah demi kesejahteraan masyarakat.


Yuna Farhan
Sekretaris Jenderal FITRA & Anggota Kelompok Kerja Otoda

Dimuat di Harian Jawa Pos, Senin 13 Mei 2013


Wednesday, May 08, 2013

Lubang Hitam Penganggaran


Selain karena faktor biaya politik tinggi, hulu dari kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR terkini juga disebabkan oleh lubang hitam dalam pembahasan anggaran. Lubang hitam itu berwujud asimetris informasi dan diskresi fungsi anggaran.
Asimetris informasi pembahasan anggaran masih kerap terjadi pada rapat-rapat yang bersifat tertutup. Baik rapat di luar gedung DPR ataupun pembahasan rincian anggaran antarkomisi dan mitra kerja pasca-paripurna penetapan anggaran.
Pada lingkup komisi sendiri, tidak semua anggota komisi DPR peduli atau punya kapasitas dalam membahas anggaran mitra kerjanya. Beredar anggapan, urusan pembahasan anggaran jadi urusan pimpinan komisi dan anggota Badan Anggaran di komisi tersebut. Pada praktiknya, persetujuan rincian anggaran lebih banyak diketahui oleh anggota Badan Anggaran dan pimpinan komisi.
Konteksnya dengan diskresi. Memang UU menjamin fungsi anggaran DPR untuk membahas RAPBN, mengubah dari sisi penerimaan ataupun pengeluaran sepanjang tidak melebihi defisit. Dari hasil pembahasan asumsi ekonomi makro, optimalisasi pendapatan negara, dan efisiensi belanja inilah diperoleh sejumlah dana optimalisasi. Persoalannya, dana optimalisasi ini tidak memiliki pengaturan peruntukan alokasinya dan baru diputuskan menjelang akhir pembahasan anggaran oleh Badan Anggaran.
Pada sisi lain DPR tidak memiliki kapasitas dan bukan merupakan domainnya masuk ke ranah perencanaan kegiatan dan anggarannya. Alhasil, yang terjadi adalah alokasi anggaran baru yang menimbulkan ruang ”bancakan” anggaran. Kasus dana penyesuaian infrastruktur daerah merupakan alokasi anggaran baru. Begitu pula dengan kasus tambahan anggaran pengadaan Al Quran yang berasal dari tambahan dana optimalisasi.
Kasus dana optimalisasi di Kementerian Pertahanan yang diblokir Kementerian Keuangan juga mengonfirmasi hal ini. Di satu sisi tersedianya dana optimalisasi di ujung pembahasan anggaran. Sementara di sisi lain, kementerian/lembaga yang memperoleh tambahan dana optimalisasi belum siap dengan rincian anggaran dan kegiatan yang akan dilakukan.
Hal inilah yang menjadi sebab pembahasan anggaran masih berlangsung meskipun APBN telah diparipurnakan, ataupun memberikan tanda bintang pada anggaran karena dianggap belum selesai pembahasannya, rincian, atau belum dilengkapi dengan kerangka kegiatan.
DPR ataupun Kementerian Keuangan tidak diperkenankan memblokir anggaran. UU Keuangan Negara dan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyatakan, APBN yang disetujui DPR terinci menurut organisasi, fungsi, jenis, dan program kegiatan.
Pemblokiran anggaran ini juga membuka ruang terjadinya ”penggiringan” proyek. Kementerian/lembaga terpaksa perlu melakukan lobi-lobi informal ataupun menggunakan perantara agar tanda bintang bisa dicabut oleh anggota Badan Anggaran dan pimpinan komisi. Tentu dengan konsensi tertentu. Tercatat per 4 Januari 2012 masih terdapat Rp 79,6 triliun anggaran yang diblokir DPR.
DPR Terjebak
Fungsi anggaran DPR saat ini terjebak membahas detail proyek sehingga melupakan perannya yang lebih subtantif. Traumatik fungsi anggaran, ”stempel” anggaran, dan lemahnya kapasitas membuat DPR cenderung fokus membahas detail anggaran daripada kebijakan fiskal dan arah strategi anggaran (Blondal, Hawkesworth, Choi, 2009). Dibandingkan negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), DPR terlibat lebih detail dan memiliki kesempatan pada proses penganggaran.
Jika parlemen berharap memegang akuntabilitas pemerintah terhadap kinerja keluaran dan hasil, parlemen harus menghindari masukan anggaran yang sangat detail (Lienert, 2010). DPR tak akan mampu membahas seluruh detail mata anggaran. Ada puluhan ribu mata anggaran setiap tahunnya dan ribuan satuan kerja yang tersebar di berbagai kementerian/lembaga.
Namun, DPR tak punya kapasitas untuk fokus pada kinerja anggaran yang bersifat kerangka pengeluaran jangka menengah untuk menandingi eksekutif yang memiliki infrastruktur dan keahlian yang jauh lebih baik. DPR seharusnya mengkritisi kinerja dari program-program yang diajukan pemerintah. Misal, apakah anggaran yang dialokasikan pada program-program kemiskinan efektif mengatasi kemiskinan? DPR tidak punya kajian yang bisa menandingi eksekutif.
Kebutuhan akan sistem pendukung yang memadai, seperti kantor anggaran yang bersifat independen (parlemen budget office), mampu mendukung kapasitas DPR untuk lebih fokus pada pembahasan kinerja, prakiraan maju, dan konsistensi kerangka pengeluaran jangka menengah, serta kegiatan-kegiatan yang bersifat inisiatif baru. Kaitannya dengan dana optimalisasi, pembicaraan pendahuluan APBN yang membahas asumsi ekonomi makro dan pagu anggaran seharusnya jadi keputusan final. Jika terdapat dana optimalisasi, sejak awal bisa dibahas oleh komisi dan mitra kerjanya. Dengan begitu, tak ada alasan lagi untuk membintangi anggaran dan membahas anggaran pasca-paripurna penetapan APBN.
Badan Anggaran akan berperan sebagai ”polisi” yang memastikan komisi tidak melebihi atau menggeser anggaran ke kementerian/lembaga lain. Dengan model seperti ini, anggota Badan Anggaran tidak perlu sebanyak seperti saat ini. Model ini dipergunakan parlemen Swedia yang mirip dan bisa diadopsi oleh Indonesia.
DPR harus segera menutup lubang hitam pembahasan anggaran jika tidak mau terus-menerus terjebak membahas detail proyek yang rawan godaan untuk memperoleh rente anggaran
Yuna Farhan, Sekjen FITRA
Kompas Cetak, 04 Februari 2013