Monday, February 06, 2006

Kuota Perempuan di Parlemen Desa

Kompas, 3 Februari 2003
Oleh: Yuna Farhan
NASIB perempuan dalam partisipasi kebijakan publik akan semakin termarginalkan. Tulisan Ani Soetjipto, Jalan Buntu di Panja RUU Parpol (Kompas, 4/11/2002), menunjukkan kesempatan perempuan untuk duduk dalam jabatan politik melalui parpol sebagai sarana rekrutmen politik mengalami deadlock.

Berbagai perangkat kebijakan Indonesia pada dasarnya sedikit pun tidak mencoba memperhatikan kesetaraan jender. Diratifikasinya konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui UndangUndang (UU) Nomor 7 Tahun 1984, menjadi landasan perjuangan isu kesetaraan jender, walaupun tidak ada sanksi berat bagi negara yang meratifikasi konvensi ini (sebatas dipermalukan dalam sidang PBB).

Seiring dengan bergulirnya bola reformasi, kesetaraan dan keadilan jender juga dituangkan dalam Propenas 2000-2004, yakni program untuk meningkatkan kualitas peranan perempuan dalam bidang hukum, politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya, dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan jender dalam pembangunan nasional.

Otonomi daerah yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2001 lalu melalui UU No 22/1999 dan UU No 25/1999, dikhawatirkan akan menambah ketimpangan jender yang selama ini terjadi. Kebijakan otonomi daerah yang juga mengisyaratkan otonomi desa sebagai subsistem dalam pemerintahan dikhawatirkan akan berimplikasi sama pada aras desa.

Pada aras desa, ketimpangan jender yang terjadi dalam masyarakat desa adalah adanya polarisasi peran antara laki-laki dan perempuan. Domain perempuan dianggap sebagai ruang domestik sehingga menyebabkan perempuan menjadi tersubordinasi. Begitu juga dengan partisipasi dalam wujud kontrol dalam masyarakat.

Di Kabupaten Sumedang, misalnya, keterlibatan perempuan dalam pemerintahan desa relatif rendah, persentase perempuan yang duduk di Badan Perwakilan Desa (BPD) sebesar 2,5 persen (72 perempuan dari 2.886 anggota BPD), sedangkan yang menjadi kepala desa sebesar 6,8 persen (62 perempuan dari 262 desa). Hal ini menjadi pertanyaan, apakah otonomi desa telah mendiskreditkan perempuan?

Pengarusutamaan jender dalam pembangunan nasional akan terkait sekali dengan fungsi BPD atau parlemen desa sebagai penyalur aspirasi masyarakat di aras paling bawah. Dalam UU No 22/1999 Pasal 104 tentang BPD berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan penyelenggaraan pemerintah desa. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi politik perempuan.

Dalam kaitannya dengan sistem nilai pada masyarakat pedesaan umumnya, ideologi jender masih kuat menentukan peran dan status perempuan dalam berbagai kegiatan, baik yang menyangkut dinamika intrarumah tangga maupun interrumah tangga. Peran perempuan yang hanya dalam domain domestik-salah satunya disebabkan budaya patriarkat dengan dominasi laki-laki terhadap perempuan-tentunya akan lebih berarti dengan adanya representasi dalam parlemen desa. Diharapkan, perempuan akan lebih ada.

Partisipasi politik perempuan menentukan arah kebijakan publik di aras desa pun dapat dijadikan titik masuk. Samuel P Huntington dan Joan Nelson dalam Partisipasi Politik di Negara Berkembang (1990) menyatakan, tujuan partisipasi politik adalah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Oleh karena itu, kegiatan itu harus ditujukan dan mempunyai dampak terhadap pusat di mana keputusan diambil. Tetapi, partisipasi politik desa akan cenderung menurun ketika keputusan menyangkut penduduk desa tidak diambil pada tingkat desa, melainkan pada tingkat nasional. Dengan demikian, partisipasi politik perempuan dalam kebijakan publik akan signifikan bila ada keterwakilan perempuan pada aras desa.

Pada prinsipnya, relevansi mendasar antara pentingnya kesetaraan jender pada aras desa yaitu lebih dari 50 persen penduduk Indonesia adalah perempuan dan sebagian besar tinggal di wilayah pedesaan. Selain itu, Pasal 14 UU No 7/1984 juga mengisyaratkan penghapusan diskriminasi dan hak untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan bagi perempuan di pedesaan.

Kesetaraan sebagai pilar demokrasi akan timpang bila menegasikan kesetaraan jender dalam demokratisasi di aras ini, sehingga tidak salah dikatakan bahwa kesetaran jender merupakan keniscayaan dalam mewujudkan demokrasi. Begitu juga partisipasi dalam wujud kontrol dalam masyarakat sebagai check and balance dalam menjalankan pemerintahan desa.

DARI uraian di atas yang menjadi inti persoalan sebenarnya adalah bagaimana mereformasi institusi demokrasi yang ada di desa sehingga berperspektif jender?

Tindakan berpihak kepada kaum yang dahulu tertekan (affirmative action), kiranya merupakan strategi yang tepat dalam mengatasi ketimpangan ini. Affirmative action dengan menyediakan kuota perempuan di BPD atau parlemen desa menjadi tolak ukur keberhasilannya.

Namun, persoalan lain yang akan muncul setelah adanya keterwakilan perempuan di BPD adalah hal itu tidak dengan sendirinya akan mengubah kemauan politik di aras desa agar berperspektif jender.

Sebab, memang tidak ada jaminan untuk itu, kecuali bila perempuan yang ada di parlemen desa punya perspektif jender dan terpilih dengan mekanisme yang memenuhi akuntabilitas. Untuk itu, penguatan peran perempuan di BPD atau parlemen desa penting dalam mewujudkan masyarakat sipil desa yang berperspektif jender.

Penyadaran jender pada masyarakat desa tidak hanya ditujukan kepada perempuan, tetapi juga masyarakat desa semua secara keseluruhan. Penekanan akan pentingnya kesetaraan jender bukan dengan maksud memunculkan kompetisi antara laki-laki dan perempuan, melainkan lebih bersifat komplementer fungsi sosial keduanya.

Sebenarnya banyak kalangan berpendapat, affirmative action kuota perempuan di parlemen desa adalah tindakan yang bias jender. Dengan adanya affirmative action terhadap perempuan, secara implisit menyatakan sebenarnya perempuan memang inferior dibandingkan dengan laki-laki sehingga perlu dilakukan tindakan berpihak. Namun, apakah ada alternatif lain memperjuangkan kesetaraan jender untuk mengejar ketertinggalan, memperoleh titik start yang sama dalam meningkatkan peran perempuan yang selama ini tersubordinasi dan termarginalkan?
Dimuat pada harian Kompas pada tanggal 03 Februari 2003
http://www.fppm.org/Info%20Anda/kuota_perempuan.htm

Saturday, February 04, 2006

Korupsi Ala Parlemen Daerah

Peningkatan kasus korupsi menjadi gejala umum di negara transisi demokrasi. Premis yang bisa diajukan adalah: Pertama, demokrasi cenderung mendorong kebijakan privatisasi demi efisiensi. Ini sekaligus menciptakan peluang terjadinya korupsi dalam proses tendernya. Kedua, demokrasi mendorong sistem pemilu yang lebih akuntabel. Sistem pemilu proposional terbuka ataupun distrik menyebabkan biaya rekrutmen politik sangat besar untuk meraih ke-kuasaan. Biaya memperoleh kekuasaan politik ini akan dikumpulkan para pengambil keputusan ketika berkuasa. Dan ketiga, agenda reformasi, otonomi daerah mendorong desentralisasi kekuasaan, pengambilan keputusan tersebar sampai tingkat lokal dan mendorong korupsi yang turut terdesentralisasi pula.Vonis terhadap 43 anggota DPRD Sumatera Barat dalam kasus penyalahgunaan APBD, hanyalah segelintir dari penampakan kasus korupsi yang dilakukan DPRD sejak digulirkannya otonomi daerah. Berdasarkan catatan FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), dalam kurun waktu tahun 2000 sampai 2004 telah terjadi 25 kasus penyalahgunaan APBD, yang melibatkan anggota DPRD baik yang masih dalam proses penyelidikan maupun yang telah diajukan ke pengadilan.Belum lagi adanya tuntutan uang pesangon yang muncul di beberapa daerah dengan berbagai istilah, mulai dari uang pesangon, uang kehormatan, uang turun, uang kadeudeuh, pensiun, tali asih dan purnabakti, yang intinya sama, meminta uang tambahan menjelang berakhirnya masa bakti DPRD. Penampakan uang pesangon terjadi sebanyak 42 kasus pada hampir 50% provinsi di Indonesia. Fenomena ini disebabkan kekosongan peraturan yang mengatur kedudukan keuangan DPRD, sejak dikabulkannya judicial review PP 110 tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD oleh MA yang diajukan oleh DPRD Sumatera Barat.Bila ditilik lebih jauh, modus "korupsi dan uang pesangon" ala parlemen daerah ini terjadi karena balas jasa anggota DPRD terhadap partai politik yang telah memilihnya pada tahun 1999. Sehingga ketika berkuasa atau memperoleh kursi sebagai konsekuensi dituntut untuk membagi penghasilannya atau membayar utangnya kepada partai yang telah memilihnya. Sistem Pemilu 2004 yang proposional terbuka juga membuat para anggota DPRD periode ini merasa terancam karena tidak yakin akan terpilih lagi dan merasa tidak popular. Maka waktu yang tinggal sedikit ini dipergunakan untuk mengeruk anggaran sebesar-besarnya sebagai tabungan hari tua atau pensiun. Hakikat Uang RakyatAtau bisa karena sebaliknya. Apabila anggota dewan itu merasa populer dan yakin terpilih kembali dalam pemilu dengan sistem proporsional terbuka, maka modal besar akan diperlukan untuk menjadi kontestan. Sumbernya dananya lagi-lagi akan dikuras dari APBD. Jika mereka terpilih kembali pada Pemilu 2004, ditengarai mereka kembali "mengeksploitasi APBD" untuk memenuhi titik impas (break event point) atau untuk mengembalikan uangnya yang telah dikeluarkan untuk kampanye. Elite di tingkat pusat juga tidak memberikan contoh yang baik. Dikabulkannya kasasi Akbar Tanjung oleh MA, dalam kasus penyimpangan dana non-budgeter Bulog, merupakan preseden buruk yang dapat berimplikasi terkonstruksinya koruptor-koruptor lokal dalam parlemen daerah.Melihat fenomena di atas, harus ada upaya-upaya sistematis yang sifatnya fundamental pada aspek kebijakan, sosial dan moral. Dari apsek kebijakan, ada dua alternatif yang bisa dilakukan. Alternatif pertama, adalah perubahan kedudukan keuangan DPRD tidak lagi dialokasikan dalam APBD melainkan dialokasikan dalam APBN. Hal ini dilakukan, sebagai upaya mengeleminasi "libido" DPRD menentukan penghasilannya semaunya yang bersumber dari APBD. Alokasi keuangan DPRD dalam APBN akan mendorong hak budget DPRD lebih memfokuskan anggaran di daerah lebih kepada kepentingan publik.Kedua, kekosongan aturan batasan gaji DPRD tidak bisa lagi ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, kecuali terlebih dahulu ada revisi mendasar UU 22 1999 atau disusun UU baru untuk mengaturnya. Namun, perlu menjadi catatan peraturan dari pusat ini, tidak perlu mengatur limit besarnya gaji DPRD yang notabene sebagai bentuk uniformitas dan intervensi pusat terhadap daerah, melainkan dibuat UU yang cukup mengatur mekanisme penentuan gaji DPRD dengan melibatkan stakeholder yang ada di daerah dan memperhatikan aspirasi di daerahnya masing-masing.Dari aspek sosial kaitannya perubahan kultur sosial masyarakat, perlu dilakukan penyadaran terhadap persepsi rakyat akan hakikat anggaran sebagai uang rakyat karena berasal dari rakyat, sedangkan pemerintah hanya menjalankan mandat untuk mengelola anggaran tersebut. Secara tidak langsung, meningkatnya kesadaran rakyat akan hakikat anggaran dapat menjadi kontrol terhadap DPRD yang menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadinya. Sementara untuk aspek moral, kaitannya dengan rating negara terkorup dan terbersih yang pernah dikeluarkan Transparency International, setidaknya cukup ampuh untuk mempermalukan negara-negara terkorup untuk memperbaiki diri. Sehingga perlu didorong pula adanya rating daerah terkorup dan terbersih, sebagai bentuk sanksi moral.
Penulis adalah aktivis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)
Tulisan Dimuat pada harian sinar Harapan 14 Juni 2004 http://www.sinarharapan.co.id/berita/0406/14/opi01.html

Friday, February 03, 2006

Bom Bali, Harga BBM, dan Kesaktian Pancasila

TANGGAL 1 Oktober yang dikenal dengan Hari Kesaktian Pancasila, ditandai dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang angkanya sangat luar biasa fantastis dan serangkaian ledakan bom pulau wisata, Bali.
Belum lepas ingatan kita dari kejadian bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2003 lalu, serangan teror pada 1 Oktober 2005 kembali menghantui pulau surga wisatawan ini.
Seakan tidak puas dengan teror kenaikan BBM yang mencekik rakyat, bom Bali kali ini tidak dapat disangkal akan semakin memberikan kontribusi negatif terhadap reaksi pasar yang lagi-lagi bermuara pada penderitaan rakyat.
Terdapat beberapa kemungkinan di balik terjadinya aksi bom Bali jilid kedua. Pertama, aksi bom (yang konon aksi bunuh diri) dilakukan oleh jaringan teroris yang sama pada bom Bali I. Secara common sense, dengan mudah orang menilai modus kejadian Bom Bali II tidak jauh berbeda dengan Bom Bali I.
Kedua kejadian ini dilakukan pada bulan yang sama dengan sasaran yang sama pada akhir pekan. Dengan mudah dapat ditebak, terdapat kaitan erat antara Bom Bali I dengan II, dan dilakukan oleh jaringan yang sama.
Namun, apakah jaringan teroris ini sebodoh itu? Atau jaringan ini dengan sengaja ingin show force tetap eksis dan mampu melakukan teror yang seharusnya sudah dapat diduga sebelumnya oleh aparat keamanan. Lalu, meng- apa mereka memilih hari yang sama dengan kenaikan BBM?
Kedua, teror bom Bali jilid II merupakan luapan kekecewaan akibat tersumbatnya upaya-upaya yang dilakukan dalam menentang kebijakan kenaikan BBM. Dengan kata lain, secara politis teror bom Bali merupakan upaya mendelegitimasi pemerintahan Yudhoyono yang berumur satu tahun.
Ketiga, Bom Bali II hanyalah upaya pengalihan isu dari kebijakan tidak populer kenaikan BBM. Merujuk pada teori konflik Cooser (1956), upaya yang dapat dilakukan untuk meredam konflik agar tidak tertuju pada objek sebenarnya, diperlukan safety valve (katup penyelamat).
Bom Bali dianggap sebagai katup penyelamat (yang tidak menyelamatkan) dari kerja-kerja invisible hand untuk mengalihkan kekecewaan dan penderitaan rakyat terhadap kenaikan BBM dalam rangka mengamankan rezim yang tengah berlangsung.
Keempat, adalah kemungkinan yang kecil terjadi. Bom Bali II yang terjadi tepat pada hari yang sama dengan kesaktian Pancasila, bertujuan mempertanyakan signifikansi dan relevansi Pancasila sebagai landasan ideologi berbangsa kita. Dramatisnya, ada anasir-anasir yang mencoba menggantikan Panca- sila.
Merupakan Teror
Kedua kejadian pada hari kesaktian Pancasila, merupakan teror bagi rakyat. Kenaikan BBM dan bom Bali II keduanya sama-sama menakutkan bagi rakyat.
Perbedaannya teror dalam bentuk kenaikan BBM memiliki legitimasi kekuasaan dengan dalih penyelematan perekonomian negara, walaupun tujuannya tidak ditujukan langsung untuk menteror rakyat.
Sementara, teror bom Bali II tidak memiliki legitimasi, meskipun tetap memiliki dalih yang dianggap benar oleh pihak yang melakukan teror itu sendiri yang memang tujuannya untuk menteror.
Bom Bali II dan kenaikan BBM dapat dikatakan mengganggu keteraturan sosial yang sedang berlaku di masyarakat serta yang dapat menyebabkan social disorder. Pada, kasus kenaikan BBM, awalnya masyarakat merasa nyaman dengan keteraturan sosial harga BBM subsidi, namun dengan pengurangan subsidi BBM (kenaikan BBM) keteraturan social di masyarakat menjadi tidak seim- bang dan menyebabkan disorder.
Disorder ini terjadi akibat definisi situasi pemerintah terhadap kenaikan BBM berbeda dengan definisi situasi rakyat.
Definisi situasi pemerintah terhadap kenaikan BBM, perlu dilakukan untuk menyelamatkan perekonomian negara, karena meningkatnya harga minyak dunia yang semakin memberatkan beban anggaran negara untuk menyubsidi BBM yang lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah atas.
Sementara definisi situasi rakyat terhadap kenaikan BBM, memberatkan rakyat, harga-harga kebutuhan pokok akan merangkak naik dan pemerintah dianggap tidak berpihak kepada rak- yat.
Pemerintah mendefinisikan situasi kenaikan BBM dengan cara pandang makro sementara rakyat memandangya dari sisi mikro. Dua cara pandang yang berbeda ini yang menyebabkan social disorder. Padahal, seharusnya social order is negotiated order. Artinya seharusnya pemerintah menegosiasikan keteraturan sosial yang berlaku di masyarakat dalam mendefinisikan situasi kenaikan BBM.
Memang, pemerintah berupaya menegosiasikan keteraturan social dengan memberikan kompensasi berupa pemberian uang tunai sebesar Rp 100.000 untuk setiap keluarga miskin. Namun, lagi-lagi safety valve ini, diyakini tidak akan mampu meredam merangkaknya harga-harga kebutuhan dan mengangkat rakyat miskin dari jurang kemiskinan.
Tak Sebanding
Secara matematis, Rp 100.000 per bulan tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang akan dialami oleh rakyat miskin. Lagi-lagi pemerintah salah mendefinisikan situasi kebutuhan rakyat miskin dalam mengatasi dampak kenaikan BBM.
Hal yang sama terjadi dalam kasus Bom Bali II, social order versi teroris yang berbeda dengan Pemerintah dan definisi situasi yang berbeda pula. Singkatnya, Perbedaan definisi situasi antar pihak inilah yang menyebabkan terjadinya social disorder. Oleh karenanya, secara sosiologis, tawaran solusinya adalah social order is negotiated order.
Dua kejadian sekaligus pada hari kesaktian Pancasila, akan benar-benar menguji relevansi dan signifikansi ideologi kita, atau 01 Oktober 2005 benar-benar menjadi hari bersejarah dan titik tolak pembuktian bahwa Pancasila memang layak dan sakti mandraguna menjadi landasan ideologi kita.
Akhirnya, yel-yel yang sering dikumandangkan mahasiswa ketika berdemonstrasi "Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan" sebagai satu-satunya jalan masa depan keberlangsungan negara kita. *
Dimuat Dalam Harian Suara Pembaruan 04 Oktober 2005
http://www.suarapembaruan.com/last/index.htm

Peradaban Korupsi

Korupsi di negara kita berada pada titik peradaban yang dianggap sebagai kewajaran sosial. Mulai dari lembaga Yudisial yang paling tinggi MA, praktek percaloan di legislatif, lembaga penyelenggara Pemilu KPU, sampai ketingkat RT saat pelaksanaan BLT (bantuan langsung tunai), praktek korupsi menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Praktek korupsi memang sudah terjadi sejak zaman purba. Bahkan korupsi sama tuanya dengan praktek pelacuran, seumuran peradaban manusia. Bisa dikatakan, korupsi ada sejak masyarakat ada. Sejak dan sepanjang kekuasaan melekat pada individu tertentu, besar ataupun kecil, korupsi akan cenderung terjadi, seperti kata Lord Acton; “power tends to corrupt”.
Terdapat beberapa premis yang bisa diajukan, dalam menjelaskan terjadinya korupsi dalam peradaban manusia. Pertama, terjadinya praktek korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang dan melibatkan unsur kekuasaan. principle of least interest yang dikemukakan George C Homans (1974) menjelaskan hal ini. Orang yang memiliki kepentingan paling sedikit untuk kelangsungan situasi sosial adalah yang paling bisa menentukan kondisi-kondisi asosiasi. Praktek penyuapan yang terjadi di lingkungan peradilan, karena peradilan memiliki kepentingan paling sedikit terhadap dampak putusan yang di keluarkannya. Sementara, sang terdakwa memiliki kepentingan yang besar terhadap putusan tersebut, akan rela melakukan suap seberapapun besarnya. Sepanjang individu memiliki kekuasaan, maka individu ini memliki kepentingan yang sedikit terhadap keberlangsungan situasi social.
Kedua, Korupsi merupakan suatu anomie, keadaan tanpa norma, social disorder. Robert K Merton mengidentifikasi anomie akibat ketidaksesuaian antara tujuan kultural dengan sarana kelembagaan yang sah untuk mencapainya. Manusia sebagai homo economicus berorientasi pada meraih keuntungan sebesar-sebesar-besarnya. Orientasi sukses atau tujuan kultural masyarakat Inonesia saat ini diukur dari akumulasi kekayaan yang dimilikinya. Sementara , sarana kelembagaan yang sah, seperti pekerjaan dengan gaji atau penghasilan yang besar tidak tersedia untuk semua orang. Demi mencapai tujuan kultural ini, korupsi dianggap sebagai katup penyelamat.
Ketiga, Proposisi sukses dan stimulus Homans, menjelaskan; semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran, maka makin kerap ia akan melakukan tindakannya itu dan menjadi stimulus untuk dilakukan kembali di masa yang akan datang. Praktek suap-menyuap yang terjadi, akan terulang secara terus menerus, akibat ganjaran yang diperolehnya, secara lama-kelamaan menjadi patern behavior, perilaku korup yang berpola. Dan selanjutnya menjadi patern interaction, interaksi korup yang berpola. Pada akhirnya, pola interaksi korup ini menjadi social order yang berlaku di masyarakat, walaupun pada kenyataannya bertentangan dengan hukum formal yang berlaku. Artinya, praktek korup menjadi suatu yang “lazim” dalam pola interaksi masyarakat.
Keempat, memperkuat premis yang ketiga, korupsi merupakan realitas yang terbentuk secara sosial (The Social Construction of Reality). Seperti dinyatakan Peter Berger (1966), realitas yang dikonstruksikan secara sosial merupakan proses obyektifikasi, internalisasi dan eksternalisasi dalam sejarah kehidupan manusia. Dengan kata lain, korupsi merupakan struktur social yang obyektif, berasal dari interaksi manusia sebelumnya melalui proses eksternalisasi. Kemudian, dinternalisasi ke dalam makna subyektif individu dan di eksternalisasi kembali menjadi realitas social obyektif. Artinya, korupsi dipandang sebagai produk masyarakat yang membentuk manusia dan sebaliknya manusia yang membentuk masyarakat korup. Ditambahkan oleh Merton, terjadinya perilaku menyimpang, akibat tekanan struktur social yang berlaku. Struktur social yang korup, pada akhirnya menciptakan keadaan yang menghasilkan pelanggaran terhadap aturan social yang berlaku sebelumnya. Masyarakat yang tidak berperilaku korup pada akhirnya akan terlempar dari kelompoknya yang korup. Mau tidak mau, masyarakat dipaksa untuk kompromi dengan praktek korup yang terjadi di dalam kelompoknya.
Korupsi Positif Vs Negatif
Dari keempat premis yang diajukan di atas, tidak serta merta menjadi justifikasi korupsi sebagai praktek “lazim” atau kewajaran social dalam peradaban manusia. Banyak pakar yang menyatakan Fungsi positif korupsi, seperti sebagai jalan pintas menembus birokrasi yang berbelit atau bottle neck birokrasi, sehingga meningkatkan aktivitas ekonomi dan mendorong investasi dengan pengalihan dana negara ke pihak swasta,. Pernyataan-pernyataan yang bersifat menyesatkan ini perlu dilihat lebih proporsional.
Merton memperkenalkan konsep disfungsi dan fungsi positif dalam menjelaskan perilaku social. Perilaku korup memiliki dimensi disfungsi (fungsi negative) dan fungsi positif. Oleh karenanya, perilaku korup seharusnya mempergunakan criteria keseimbangan konsekuensi-konsekuensi fungsional (net balance of functional consequences). Perlu menimbang fungsi positif relative korupsi terhadap fungsi negative.
Korupsi jelas-jelas lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Berbagai fungsi negative korupsi, secara common sense telah banyak diidentifikasi. Korupsi merugikan keuangan Negara, dapat menyengsarakan rakyat yang seharusnya menikmati anggaran pembangunan, menguntungkan kepentingan pribadi, menyalahgunakan amanat, merusak system demokrasi dan mungkin masih banyak lagi.
Secara manifest, ada benarnya, fungsi positif korupsi untuk memecah jalan buntu birokrasi yang tidak efisien. Tetapi, dibaliknya mengandung fungsi laten yang bersifat disfungsional (negative). Karena korupsi yang terjadi akan merangsang perkembangan lebih lanjut untuk korupsi yang lebih besar. Pakar sosiologi korupsi S. Hussein Alatas, menyatakan fungsi positif korupsi sebagai jalan keluar birokrasi yang tidak efisien, adalah tidak benar. Korupsi yang meluas disebabkan karena kehadiran korupsi yang lebih dahulu dan menjadi penyebab adanya kondisi itu. Sejalan dengan premis keempat, seperti dikemukakan Berger. Pada akhirnya, korupsi merupakan The Social Construction of Reality.
Korupsi berdampak positif pada bisnis swasta, bisa jadi. Namun, perlu diingat, akumulasi modal yang dikumpulkan oleh pihak swasta dapat dipastikan akan merugikan keuangan negara dan rakyat. Sudah menjadi hukum alam, ada yang diuntungkan, pasti ada yang dirugikan. Kita sepakat, Korupsi merupakan extraordinary crime yang lebih banyak disfungsionalnya ketimbang fungsi positifnya.

Pahlawan Koruptor
Akhir-akhir ini untuk banyak koruptor yang mengukir prestasi, dengan jalan bakti social atau tugas pengabdian untuk membayar sebagian atau seluruh kerugian karena korupsi yang dilakukannya. Hasil-hasil kerja pengabdian para koruptor ini, pada akhirnya akan menimbulkan respek, rasa terimakasih bahkan dianggap bisa menjadi hero.Bahkan para konglomerat hitam yang terjerat BLBI, jika kooperatif mau mengembalikan uang Negara dianggap sebagai Pahlawan dan bebas dari segala jeratan hokum.
Dapat diramalkan, jika ini yang diterapkan sebagai hukuman para koruptor, tak ayal lagi, akan banyak orang yang berlomba-lomba untuk menjadi koruptor. Toh, setelah meraup keuntungan besar, mendapat hukuman, pada akhirnya koruptor akan mendapatkan respek dan menjadi pahlawa. Jangan heran, jika koruptor diberi hukuman untuk mengukir prestasi, dalam waktu dekat, prestasi korupsi negara kita akan segera menduduki peringkat teratas negara terkorup.
.
“Lalu, apakah kita harus menaruh respek dan berkompromi, dengan para koruptor? Pascal Couchepin, mencoba menjawabnya. Presiden Konfederasi Swiss tahun 2003, sebagai negara yang dikenal tanpa korupsi, memberikan tips; “Jangan pernah kompromi menghadapi korupsi, berupayalah untuk tidak menaruh respek kepada mereka yang korupsi”. Oleh karenanya, “keterlibatan rakyat dan juga kebencian yang diperlihatkan warga masyarakat pada yang korup, membuat siapa saja takut dan segan untuk melakukan korupsi”.

Membangun Peradaban Anti Korupsi
Korupsi sebagai bagian peradaban manusia, tidak lantas membuat kita mengamini dan berpangku tangan saja. Berangkat dari empat premis sebelumnya, yang perlu dibangun, justru peradaban anti korupsi sebagai realiatas yang dikonstruksikan secara sosial. Pertama, Mulai dengan proses membangun realitas sosial korupsi sebagai bentuk penyimpangan sosial. Menerapkan apa yang dikemukakan Berger, suatu realitas obyektif memerlukan legitimasi atau cara pembenarannya. Sejauh ini, negara kita telah melakukannya. Legitimasi terhadap realitas sosial korupsi dilakukan oleh negara melalui berbagai perangkat kebijakan.
Kedua, membangun internalisasi perilaku korupsi sebagai bentuk penyimpangan sosial. Proses ini yang belum dimulai bangsa kita. Nilai-nilai anti korupsi diinternalisir melalui sosialisasi primer sebagai sosialisasi awal dilingkungan keluarga kepada anak-anak, sekolah, lembaga keagamaan dan lembaga sosial lainnya.
Ketiga, proses eksternalisasi peradaban anti korupsi akan terbangun dengan sendirinya. Proses internalisasi kepada anak-anak tidak pernah diterima lengkap sepenuhnya. Sang anak, ketika dewasa, akan mengeksternalisasi kembali nilai-nilai anti korupsi dalam masyarakat hingga akhirnya menjadi realitas sosial obyektif peradaban anti korupsi. Sanksi sosial mempermalukan koruptor ditengah-tengah masyarakat perlu dialkukan untuk mendukung hal ini.
Dua pilihan lain yang cukup sulit dalam membangun peradaban anti korupsi, adalah merubah tujuan kultural masyarakat kita yang diukur dengan sukses materi dan atau menyediakan sarana kelembagaan yang sah. Pilihan pertama, merubah tujuan kultural, paling mungkin bisa dilakukan oleh agama, seperti dengan tujuan kehidupan setelah mati atau need for achievement dalam konteks di luar materi.
Sudah pasti, membangun peradaban adalah memakan proses panjang. Tetapi, jika kita tidak ingin ingin dicap sebagai negara yang memiliki prestasi dalam korupsi, segera mulailah dari yang paling sederhana. Tanamkan, dalam keluarga kita nilai-nilai anti korupsi sebagai perbuatan terhina. Jauhkan dan kucilkan, sanak keluarga kita, kerabat, apabila mereka melakukan korupsi.