Friday, July 27, 2018

APBN Tanpa Perubahan

YUNA FARHAN  17 Juli 2018
https://kompas.id/baca/opini/2018/07/17/apbn-tanpa-perubahan/

Untuk pertama kalinya dalam sejarah sejak era Reformasi, pemerintah tidak mengajukan anggaran perubahan—yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P)—kepada DPR. Praktik APBN tanpa perubahan ini perlu diapresiasi dan dipertahankan.

Tidak adanya APBN Perubahan tidak saja memberikan sinyal positif bagi pasar (Kompas, 12/7/ 2018), tetapi juga menunjukkan semakin baiknya penyusunan rencana anggaran oleh pemerintah dan tertutupnya celah korupsi anggaran yang kerap terjadi pada siklus APBN Perubahan.

Penyusunan APBN selama ini mengalami dua kali pembahasan antara pemerintah dan DPR. Pemerintah yang telah mengajukan APBN pada tujuh bulan sebelum tahun anggaran berjalan biasanya kembali mengajukan APBN Perubahan pada bulan Juli sampai Agustus. Praktik yang terjadi, APBN sengaja didesain untuk dapat dilakukan perubahan.

Asumsi akan adanya APBN Perubahan sudah melekat di kalangan kementerian/lembaga maupun anggota DPR yang melakukan pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) sebelum tahun anggaran berjalan. Kerap kali terdengar dalam pembahasan anggaran, kementerian/lembaga yang anggarannya dikurangi atau dipotong dijanjikan untuk diajukan kembali anggarannya pada APBN Perubahan.

Pengajuan APBN Perubahan tidak diharamkan menurut undang-undang (UU). Pemerintah diperkenankan mengajukan perubahan anggaran jika terjadi perubahan asumsi ekonomi makro yang tidak sesuai dengan perkembangan, perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal, dan perlu ada pergeseran anggaran antarunit organisasi, kegiatan, serta jenis belanja.

Berbeda dengan UU lain, RUU APBN maupun APBN Perubahan merupakan satu-satunya inisiatif UU yang berasal dari Presiden. Bahkan, UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD memberikan diskresi kepada pemerintah.

Pemerintah hanya perlu mengajukan RUU Perubahan APBN jika terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan perubahan postur APBN secara signifikan. UU memberikan batasan perubahan jika terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi minimal satu persen di bawah asumsi yang telah ditetapkan dan deviasi asumsi ekonomi makro lainnya minimal 10 persen dari asumsi yang telah ditetapkan.

Defisit membengkak

Alih-alih melakukan penyesuaian anggaran, APBN Perubahan kerap berimplikasi pada buruknya tata kelola anggaran. Dari hasil penelusuran dokumen anggaran kurun waktu 2005 sampai 2014, adanya perubahan anggaran justru berakibat pada membengkaknya defisit anggaran. Pembengkakan defisit umumnya disebabkan oleh peningkatan alokasi belanja, baik pada pemerintah pusat maupun daerah. Tambahan anggaran pada APBN Perubahan dengan sisa waktu yang terbatas pada akhirnya menyebabkan rendahnya serapan realisasi anggaran, baik di pusat maupun daerah.

Berbeda dengan pembahasan RAPBN yang melalui dua kali tahapan pembahasan—pembicaraan pendahuluan dan pembahasan RAPBN—waktu pembahasan APBN Perubahan yang relatif singkat juga membuka ruang terjadinya penyimpangan anggaran. Dalam waktu satu bulan, RAPBN Perubahan yang diserahkan pemerintah sudah harus disahkan DPR.

Tidak mengherankan deretan kasus korupsi anggaran besar selalu terjadi pada saat perubahan anggaran. Sebut saja kasus korupsi KTP-el yang memperoleh tambahan alokasi pada APBN Perubahan, tambahan anggaran pengembangan wisma atlet, kasus korupsi pengadaan Al Quran dan dana penyesuaian infrastruktur, dan lain-lain.

Potensi korupsi pada pembahasan APBN Perubahan kerap menjadi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK mencatat, sekurangnya terdapat 10 kasus korupsi yang terjadi pada saat APBN Perubahan. Kasus-kasus korupsi ini terjadi melalui bagi-bagi fee kepada anggota Dewan pada saat pembahasan anggaran untuk meloloskan tambahan anggaran pada APBN Perubahan yang diajukan untuk memuluskan proyek tertentu.

Anggaran tanpa perubahan mempersempit celah perburuan rente sebagai amunisi para elite politik memasuki tahun politik. Mereka akan berupaya memperjuangkan agar anggaran dapat melayani kepentingan politik masing-masing, meskipun untuk yang terakhir ini acap kali dikemukakan dengan bahasa atau kemasan teknokratik.

Sudah menjadi rahasia, meskipun dana aspirasi telah ditolak, dana ini telah berjalan secara diam-diam. Dana aspirasi yang kerap digunakan membangun patronase politik di daerah pemilihan diperoleh dari pengarahan dan tambahan anggaran kementerian/lembaga ke daerah pemilihan tertentu dan dana transfer daerah.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), misalnya, pada tahun anggaran 2017 menemukan 20 persen tambahan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik di 322 daerah tidak sesuai formula dan berdasarkan usulan DPR. Tidak diajukannya APBN Perubahan 2018 oleh pemerintah telah menghilangkan kesempatan anggota DPR memperoleh modal untuk Pemilu 2019.

Sementara, mengharapkan APBN 2019 kecil peluangnya. Pemilu legislatif akan diselenggarakan bulan  April, sedangkan APBN 2019 akan belum banyak yang direalisasikan untuk dijadikan biaya politik.

Pemerintah percaya diri

Dengan tidak diajukannya APBN Perubahan 2018, ini menunjukkan  kepercayaan diri pemerintah terhadap kondisi perekonomian Indonesia di tengah ancaman perang dagang global dan kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat.

Meskipun dua asumsi ekonomi makro pada APBN 2018, yakni kurs rupiah dan harga minyak dunia per barrel, telah melampaui target, pemerintah masih berkeyakinan APBN masih realistis untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tanpa harus melakukan perubahan.

Tidak adanya APBN Perubahan 2018 juga mengindikasikan penyusunan anggaran yang kredibel. Artinya, APBN 2018 yang disusun pemerintah telah mempertimbangkan kondisi perekonomian global yang terjadi dan berbasis target pendapatan dan kemampuan belanja yang lebih realistis.

Langkah pemerintahan Jokowi untuk tidak melakukan perubahan anggaran didasarkan atas kinerja APBN 2018 yang cukup membaik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dari sisi pendapatan dan belanja, realisasi penerimaan pajak dan penyerapan anggaran mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2017.

Dari sisi defisit anggaran, diperkirakan hanya 2,12 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau berada di bawah target pada APBN 2018, yaitu 2,19 persen dari PDB. Pemerintah juga berhasil menjaga surplus keseimbangan primer meskipun terus meningkat. Artinya, penerimaan negara dikurangi belanja di luar pembayaran bunga utang mengalami surplus. Pemerintah tidak lagi berutang untuk membayar bunga utang. Penerimaan negara kini lebih besar dari yang dibelanjakan.

Rakyat perlu memperoleh informasi fiskal yang simetri sehingga dapat menilai apakah kebijakan fiskal sesuai dengan realitas. Prestasi APBN tanpa perubahan patut dipertahankan kembali untuk tahun-tahun anggaran mendatang.

Monday, March 06, 2017

Bola Panas APBD Jakarta



Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pembahasan  anggaran berujung pada hak angketterjadi di DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Ahok, tetap bergeming menolak kompromi dengan legislatif daerah. Bukan hanya nasib 9 juta warga Jakarta yang pembangunannya bergantung pada penetapan APBD 2015. Namun ‘deadlock’ persetujuan anggaran ini juga dapat bergulir menjadi bola panas lengsernya orang nomor 1 dari kursi Gubernur DKI Jakarta.

Sesuai dengan Undang-undang, dengan tidak adanya persetujuan antara eksekutif dan legislatif dalam menetapkan anggaran,  berimbas pada kerugian besar yang akan dialami warga Jakarta. Pembangunan Ibu Kota akan terhambat, Pemda hanya bisa mengeluarkan anggaran keperluan bulanan yang besarnya paling tinggi sebesar angka APBD sebelumnya. 

Sebenarnya Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, mencoba untuk mengatasi berbagai keterlambatan yang dialami banyak daerah selama ini. Dalam UU ini, jika sampai dengan tahun anggaran berjalan anggaran belum ditetapkan, maka baik Kepala Daerah maupun DPRD dikenai sanksi berupa tidak dibayarkannya hak-hak keuangannya. Namun tampaknya, bagi kalangan parlemen di Ibu Kota ini, sanksi tidak digaji bukanlah momok.

Jika ditarik kebelakang, molornya penetapan anggaran ini juga tidak terlepas dari masa transisi pergantian anggota legislatif pada Pemilu lalu. Berdasarkan catatan Kompas (28/02), eksekutif telah mengajukan kebijakan umum anggaran (KUA) sebagai dasar RAPBD kepada anggota DPRD periode sebelumnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau bulan Juni 2014. Namun belum sempat dibahas, terjadi pergantian anggota DPRD. KUA baru-pun diajukan kembali oleh pihak eksekutif kepada DPRD periode baru, dan dikarenakan dewan harus mempersiapkan internal organisasinya, RAPBD baru ditetapkan pada akhir Januari.

Terkuak kabar, DPRD ternyata masih membahas RAPBD pasca paripurna penetapan. Pembahasan pasca paripurna jelas merupakan tindakan illegal, ruang gelap yang dapat menjadi tumbuh suburnya pemburu rente anggaran.  Pasca paripurna penetapan anggaran, publik dan media sudah tidak memantau lagi, dengan anggapan paripurna merupakan akhir dari proses penetapan anggaran. Dari titik inilah muncul ‘dana siluman’ usulan dewan Rp. 8,8 trilyun. Pasalnya, dewan tak mau kalah, dan tetap mengusulkan RAPBD menurut versi pembahasan mereka.

Dalam konteks fungsi anggaran, memang UU 17 2003 Keuangan Negara, menjamin fungsi anggaran dewan untuk mengusulkan perubahan anggaran dari sisi pendapatan dan belanja sepanjang tidak mengakibatkan defisit. Namun, kerangka hukum belum mengatur secara tegas, sejauhmana diskresi fungsi anggaran dewan dalam mengusulkan perubahan anggaran.

Sebenarnya dewan memiliki mekanisme jaring aspirasi, sebagai dasar untuk memastikan aspirasi konstituennya yang disampaikan dalam mekanisme Musrenbang diakomodasi dalam anggaran. Akan tetapi, dewan yang saat ini baru bertugas, belum terlibat pada saat pelaksanaan Musrenbang yang merupakan dasar dalam penyusunan anggaran. Sehingga bisa dikatakan dewan saat ini tidak memiliki kapasitas dalam mengusulkan kegiatan dalam anggaran. Peran dewan ini seharusnya lebih memfokuskan fungsi anggarannya untuk mengkritisi efektivitas alokasi anggaran.

Namun apa yang dilakukan dewan  dengan mengusulkan sendiri versi RAPBD nya,  jelas mengangakangi akal sehat publik. Fungsi anggaran dewan tidak bisa digunakan untuk mengeksekusi anggaran. Terlebih lagi dana siluman ini sudah ada sejak APBD 2014. Hasil invesigasi berbagai media terungkap, penyedia pengadaan UPS ke berbagai Sekolah banyak yang tidak memiliki kapasitas. Ini menunjukan, ‘dana siluman’ yang muncul dari dewan bukan digunakan untuk kepentingan aspirasi konstituennya, melainkan mencari rente dari usulan anggaran tersebut.

Sangat mungkin  “dana siluman’ tersebut telah di kavling-kavling oleh anggota dewan, dengan menyodorkan perusahaan tertentu yang bersedia memberikan kompensasi uang untuk pengadaan barang ataupun perusahaan rekanan yang memiliki keterkaitan dengan anggota dewan tersebut.

Praktek tersebut sebenarnya lazim terjadi di banyak daerah. Bahkan kasus-kasus korupsi anggaran yang melibatkan anggota DPR dalam pembahasan anggaran mengkonfirmasi terjadinya praktek ini. Tidak mengherankan pembahasan anggaran yang seharusnya menjadi ajang kontestasi politik terpenting setelah Pemilu, selalu berjalan mulus,  dengan berbagai kompromi dibelakangnya. Bentuk kompromi-pun bermacam, mulai dari jatah dana aspirasi, titipan dana siluman sampai dengan bentuk suap.

Sejatinya, melalui pembahasan anggaran, publik dapat melihat sejauhmana arah keberpihakan partai-partai politik di legislatif maupun eksekutif dalam memenuhi kesejahteraan rakyat.  Prakteknya,  pembahasan anggaran tak ubahnya bagai ritual tahunan antar elit berkuasan dalam membagi-bagi kue anggaran. Praktek ini dapat dilihat sebagai bentuk kartel politik dalam anggaran. Dimana, seluruh partai politik baik pemenang Pemilu maupun yang kalah bersama-sama membajak kue anggaran untuk kepentingannya.

Dalam konteks DKI Jakarta, Ahok yang saat ini bukan berasal dari partai politik, perlu dilihat sebagai upayanya melawan kartel politik  dalam anggaran.  Upaya melawan kartel politik anggaran bukanlah hal gampang. Upaya transparansi yang dilakukan Pemda DKI dengan menampilkan data APBD yang telah ditetapkan dalam dua tahun terakhir, dengan cukup rinci dalam website tidaklah cukup.

Menurut International Budget Partnership (IBP) setidaknya terdapat tujuh dokumen kunci anggaran yang harus dipublikasikan, seperti rancangan anggaran, anggaran yang ditetapkan, citizen budget  atau versi anggaran yang mudah dipahami warga, laporan rutin realisasi anggaran, laporan tengah semester anggaran, laporan realisasi akhir tahun anggaran dan laporan audit anggaran.

Memang,  Pemda juga telah mempublikasi RAPBD 2015 versi Pemda dengan menggunakan e-budgeting dan versi DPRD. Namun baru dilakukan pada saat setelah terjadinya perseteruan. Tentu ini  bisa jadi langkah tepat untuk meraih dukungan publik, dengan jalan membandingkan versi yang asli dengan yang memasukan dana siluman.

Ke depan inisiatif e-budgeting perlu diperkuat, tidak hanya dalam konteks memudahkan kerja Pemda, namun juga membuka akses keterlibatan warga Jakarta dan fungsi anggaran DPRD itu sendiri. E-budgeting seharusnya juga dapat menampilkan asal usul suatu kegiatan dalam APBD. Sehingga publik juga bisa menelusuri pada tahapan mana terjadinya perubahan atau proses naik turunnya anggaran, apakah terjadi pada saat penyusunan anggaran di eksekutif atau pembahasan anggaran di legislatif.

Dewan juga akan lebih mudah memastikan apakah suatu kegiatan di APBD merupakan usulan kebutuhan dari masyarakatnya atau bukan. Sehingga fungsi anggaran dewan bisa lebih diarahkan untuk menjamin hasil-hasil Musrenbang daerah pemilihannya diakomodasi dalam anggaran. Fungsi anggaran dewan dalam mengusulkan perubahan anggaran menjadi lebih akuntabel, sepanjang perubahan tersebut terekam dan dapat ditelusuri alasannya. Publik pun akan dapat menilai, mana dewan yang betul-betul memperjuangkan aspirasi warganya dan perlu didukung dalam pembahasan anggaran, dengan dewan yang mengusulkan dana siluman.

Partisipasi warga juga perlu ditingkatkan, dengan mengembangkan aplikasi-aplikasi e-participation yang membuka ruang partisiapasi warga, baik untuk terlibat dalam proses perencanaan penganggaran maupun dalam pengawasan pelaksanannya. Dengan infrastruktur teknologi informasi sekelas Ibu Kota, peluang ini cukup terbuka untuk dilakukan.

Keberanian Ahok melawan kartel politik anggaran dengan resiko dilengserkan patut didukung. Namun, upaya perlawanan ini tidak cukup dilakukan secara sporadis. Langkah komprehensif keterbukaan anggaran dan pelibatan warga bisa mejadi momentum, tidak hanya perbaikan bagi Jakarta, namun juga barometer bagi daerah lainnya.


Yuna Farhan

Mahasiswa PhD Kajian Indonesia, University of Sydney.  

Thursday, August 21, 2014

Politik Anggaran Pemerintahan Baru

Yuna Farhan  ;   Mahasiswa PhD University of Sydney
KOMPAS, 19 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

TERAKHIR kali di ujung masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015 beserta nota keuangan kepada DPR. Presiden mengatakan, APBN kali ini berbeda karena disusun pada masa pemerintahannya dan dijalankan oleh pemerintahan berikutnya. Presiden juga menyatakan memberikan ruang fiskal yang cukup untuk digunakan oleh presiden terpilih pada APBN Perubahan.

Jika ditelisik secara mendalam, pemerintahan SBY meninggalkan warisan politik anggaran yang berat bagi pemerintahan baru, baik dalam konteks transisi maupun dalam menjalankan pemerintahannya ke depan. Tantangan politik anggaran ini dapat dieksaminasi dari sisi substansi anggaran dan sisi kerangka institusional. Dari sisi substansial anggaran, setidaknya terdapat dua warisan SBY yang akan menjadi tantangan ke depan, yakni keterbatasan ruang fiskal atau ruang gerak pemerintahan baru untuk mewujudkan janji-janji kampanyenya dan keseimbangan primer yang negatif.

Ruang fiskal dan keseimbangan primer

Tercatat sejak 2009, ruang fiskal APBN berada pada kisaran 30 persen. Terbatasnya ruang fiskal ini diakibatkan semakin membengkaknya belanja wajib atau mengikat, seperti gaji pegawai, subsidi, dan bunga utang.

Keterbatasan ruang fiskal, dalam istilah Wildavky (1974), hanya menjadikan penganggaran sebagai praktik inkrementalis, atau sebagai produk negosiasi politik rutin antar-aktor eksekutif dan legislatif yang bertemu setiap tahun dan memutuskan anggaran berdasarkan anggaran sebelumnya karena ruang fiskal yang terbatas.

Tidak kalah mengkhawatirkan, pemerintahan baru juga akan menghadapi anggaran dengan kondisi keseimbangan primer negatif. Keseimbangan primer negatif dalam anggaran kita mulai terjadi sejak 2012 atau sejak pemerintah menerapkan sistem anggaran baru. Meskipun pemerintah mengklaim rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) mengalami penurunan, keseimbangan primer yang negatif menunjukkan pendapatan negara tidak lagi mampu menutupi belanja di luar pembayaran bunga utang. Artinya, untuk membayar bunga utang, perlu pokok utang baru.

Sementara dari kerangka institusional, aspek teknis perumusan APBN transisi dan fragmentasi politik juga menjadi persoalan besar pemerintahan ke depan. Dari sisi teknis penyusunan, dengan tidak dilibatkannya Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam penyusunan APBN 2015, hal itu akan sulit untuk mengharapkan pemerintahan baru nanti bisa merealisasikan program-programnya pada 2015.

Kendati terdapat peluang untuk melakukan perubahan APBN, hal ini tak akan banyak mengubah keadaan. Selain karena waktu penyusunan dan pembahasan APBN Perubahan yang relatif lebih singkat, pemerintah baru juga tidak mungkin melakukan perombakan anggaran dan program secara signifikan sejalan dengan programnya.

Penyebabnya, program-program dalam APBN 2015 telah disusun melalui proses panjang dan mengakomodasi program- program berdasarkan aspirasi pemerintah daerah. Dalam keadaan normal, APBN Perubahan hanya mengakomodasi tambahan anggaran untuk program yang telah ditetapkan ataupun pergeseran dan pengurangan. Jarang terdapat kasus APBN Perubahan dapat mengalokasikan program atau kegiatan baru.

Jika pun pemerintah memaksa mengalokasikan program baru, sebagai konsekuensinya, realisasi anggaran menjadi tidak optimal karena keterbatasan waktu realisasi. Terkecuali, pemerintah dapat segera melakukan percepatan perubahan APBN.

Fragmentasi politik

Tantangan Jokowi-JK yang tidak kalah berat adalah fragmentasi parpol, baik dari sisi internal di koalisi pemerintahan maupun eksternal di legislatif sebagai konsekuensi dari sistem pemilu proporsional. Dalam literatur politik ekonomi, tingginya fragmentasi politik pada koalisi pemerintahan berakibat pada tingginya tingkat defisit karena anggota parpol koalisi pemerintahan memiliki motivasi untuk terpilih kembali pada pemilu berikutnya, dengan jalan mengalokasikan anggaran sesuai preferensi basis konstituennya dan pemerintah dihadapkan keterbatasan sumber daya (problem common pool resource) (Parson et al 2007).

Dalam hal ini, Jokowi-JK diuntungkan karena didukung lebih sedikit parpol dan berkomitmen untuk mengurangi unsur parpol dalam kabinet yang akan disusunnya. Maka, jika Jokowi-JK mampu mengapitalisasi dukungan rakyat untuk mengeliminasi kepentingan politik praktis anggota koalisi, sangat mungkin fragmentasi anggaran dapat dihindari.

Pasalnya, hal ini tidak mudah diredam pada tingkat legislatif mengingat karena partai-partai nonpemerintahan akan menguasai kursi lebih banyak pada legislatif periode mendatang, kecuali ada perubahan peta kekuatan koalisi di DPR. Tak ayal, pembahasan anggaran legislatif menjadi arena politik terpanas kedua setelah pemilu. Bukan tidak mungkin, pemerintahan Jokowi-JK, jika memerintah, akan terus tersandera untuk melakukan negosiasi dengan partai-partai nonpemerintah dalam membagi-bagi kue anggaran.

Terlebih lagi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang baru disahkan melegalisasi praktik pork barrel (gentong babi—yakni praktik terkait perilaku politisi yang menggunakan uang negara untuk kepentingan politiknya, dan bukan untuk kepentingan rakyat yang diwakili) dalam anggaran. Pasal 80 huruf j UU ini menyatakan, salah satu hak anggota DPR adalah untuk mengusulkan program pembangunan daerah pemilihannya, dan Pasal 110 huruf e, yang menegaskan salah satu tugas Badan Anggaran adalah melakukan sinkronisasi usulan program daerah pemilihan.

Tidak akan mengherankan jika partai-partai nonpemerintah ini tidak tergoda bergabung dalam pemerintahan Jokowi-JK dan terus melakukan penyanderaan karena memiliki sumber daya ”gentong babi” untuk merawat konstituennya.

Konsekuensinya, legalisasi dana aspirasi ini, selain akan menggerus ruang fiskal untuk merealisasikan program pemerintah, juga akan merusak sistem dana perimbangan dan dana desa yang baru saja diterapkan. Tak ayal, kesenjangan fiskal antardaerah ataupun desa akan kian melebar dan kebijakan anggaran tidak efektif karena terfragmentasi.

Perbaikan kerangka dan kelembagaan anggaran

Adanya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 27/2009 tentang MD3 merupakan peluang yang baik bagi Jokowi untuk memperbaiki kerangka hukum dan kelembagaan anggaran saat ini dalam menjinakkan syahwat kepentingan politik pragmatis. Putusan MK itu sebenarnya mempertegas peran DPR dalam membahas anggaran. Dalam konteks usulan program daerah pemilihan, secara konstitusional MK mendasarkan keputusannya pada pertimbangan bahwa DPR telah terlalu jauh memasuki kewenangan eksekutif. Dengan demikian, usulan program daerah pemilihan pun telah melampaui kewenangan legislatif.

Pemerintahan Jokowi-JK sepatutnya segera mengagendakan perubahan UU Keuangan Negara untuk mendesain kerangka kelembagaan penganggaran yang dapat mengeliminasi parpol dan membatasi kewenangan mengubah anggaran serta menciptakan ruang insentif bagi partai-partai politik pemerintah dan nonpemerintah untuk menangkal usulan program-program pragmatis (Martin & Vanberg, 2013). Tak kalah penting, sepanjang Jokowi tidak amnesia atas dukungan rakyat yang mengantarkannya ke kursi presiden, maka mengapitalisasi dukungan rakyat untuk merevolusi tradisi transaksional politik anggaran merupakan keniscayaan untuk mewujudkan sebesar-besarnya anggaran guna kemakmuran rakyat.

Tantangan Politik Anggaran


Yuna Farhan  ;   Mahasiswa PhD University of Sydney, 
Peneliti Senior Fitra
KOMPAS,  07 Juli 2014
                                                


SEBAGAI instrumen politik dan ekonomi, anggaran negara memiliki peran besar untuk menilai arah keberpihakan suatu rezim. Pergantian rezim yang akan berlangsung dalam hitungan hari merupakan waktu yang tepat untuk mengidentifikasi apa saja warisan politik anggaran pemerintah sebelumnya dan sejauh mana visi-misi pasangan capres-cawapres yang berkontestasi menyikapi warisan itu.

Warisan SBY

Setidaknya politik anggaran suatu rezim dapat dilihat dari hasil kinerja, substansi kebijakan, dan institusional. Dari segi kinerja ekonomi, banyak kalangan menilai pemerintahan SBY cukup berhasil. Meskipun target pertumbuhan ekonomi pemerintahan SBY berada di bawah janji kampanyenya, yakni 7 persen, pemerintah cukup berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen, di tengah ketidakpastian atau melambatnya perekonomian dunia.

Meskipun demikian, kualitas pertumbuhan ekonomi tersebut bisa dikatakan cukup rendah, dengan indeks rasio gini sebagai indikator yang mengukur kesenjangan pendapatan terus mengalami peningkatan.  Pada tahun 2005, saat SBY pertama kali menjabat, indeks gini rasio berada pada angka 0,36 dan meningkat menjadi 0,41 pada tahun 2013.

Tidak hanya berpengaruh dalam performa ekonomi, besarnya kesenjangan kesejahteraan juga berimplikasi pada kesenjangan politik yang menjadi lahan subur bagi mengguritanya oligarki. Winters (2013) mencatat kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia setara 10 persen PDB, di mana kaum oligarki ini membajak demokrasi prosedural untuk mempertahankan dan memperbesar kekayaan mereka dengan jalan membeli atau mendirikan partai politik, media, dan juga mengucurkan uang dalam kontestasi politik.

Menguatnya oligarki ini juga dirangsang oleh kebijakan perpajakan yang tak berkeadilan. Kajian Prakarsa dan Infid (2014) menyebutkan tarif pajak tertinggi hanya 30 persen untuk kelompok berpendapatan di atas Rp 500 juta per tahun, tak membedakan dengan pendapatan orang-orang superkaya dengan penghasilan di atas Rp 10 miliar per tahun.

Dari sisi kebijakan anggaran, selain masih rendahnya rasio pajak, presiden mendatang juga akan dihadapi dengan ruang fiskal yang terbatas. Artinya, siapa pun presiden terpilih, tanpa adanya upaya meningkatkan rasio pajak dan pengurangan belanja wajib, mereka  hanya memiliki keleluasaan dalam mengalokasikan anggaran sesuai dengan prioritas programnya kurang dari 30 persen anggaran negara.

Selain itu, dari sisi pembiayaan, meskipun rasio utang terhadap PDB mengalami penurunan,  untuk pertama kalinya pada tahun 2012, anggaran mengalami negatif keseimbangan primer, di mana pendapatan tidak mampu menutupi belanja di luar pembayaran bunga utang. Artinya, untuk membayar bunga utang memerlukan pokok utang baru.

Sementara pada aspek institusional, perlu diapresiasi komitmen SBY terhadap keterbukaan informasi anggaran, yang ditandai dengan meningkatnya skor indeks keterbukaan anggaran Indonesia (Open Budget Index) yang dikeluarkan oleh International Budget Partnership (2012) dari 42 pada tahun 2006 menjadi 62 pada tahun 2012, bahkan tertinggi di Asia Tenggara. Meskipun demikian, transparansi anggaran ini belum diikuti dengan menguatnya akuntabilitas anggaran. Tercatat, selama masa pemerintahan SBY, terdapat 48 anggota DPR dan 2 menteri aktif terjerat kasus korupsi.

Visi-misi politik anggaran capres

Suka atau tidak suka, realitas politik saat ini, kedua pasangan capres dan cawapres tersandera oleh oligarki, di tengah mahalnya ongkos kontestasi. Boleh jadi, kaum oligarki ini akan menagih ongkos konstestasi pasangan terpilih dengan kembali memeras anggaran negara. Sayangnya,  ketimpangan sumber daya material sebagai media suburnya oligarki belum mendapatkan perhatian serius dari kedua pasang capres-cawapres.

Memang pasangan Prabowo-Hatta secara khusus mematok target mengurangi indeks gini menuju 0,31. Sayangnya target ini terlalu ambisius dan tidak mungkin dicapai dalam kurun waktu lima tahun pemerintahan. Berdasarkan data OECD, negara yang mampu menurunkan indeks gini, Yunani dan Turki, selama kurun waktu 12 tahun (1995-2008), masing-masing hanya mampu menurunkan 0,03 (dari 0,34 ke 0,31) dan 0,08 (dari 0,49 ke 0,41).

Sementara pasangan Jokowi-JK tidak menetapkan target khusus untuk mengurangi ketimpangan pendapatan ini. Namun, pasangan ini mencoba menutup pintu masuk penyanderaan oligarki melalui program pendanaan partai politik dan kampanye. Pasangan ini juga tengah mencoba penggalangan dana publik untuk kampanye sebagai upaya mengeliminasi utang kontestasi pada saat berkuasa.

Terkait kebijakan fiskal,  kedua pasang capres-cawapres berani mematok target peningkatan rasio pajak 16 persen  dari PDB. Namun, perubahan tarif pajak  yang berkeadilan sebagai sumber ketimpangan  tidak disinggung oleh kedua pasangan.

Dari sisi kebijakan anggaran, Prabowo-Hatta menjanjikan belanja sebagai instrumen pemerataan. Meski tak disinggung soal keterbatasan ruang fiskal dan cenderung normatif, pasangan ini memiliki kebijakan untuk melakukan efisiensi belanja, meminimalkan kebocoran anggaran, mengurangi subsidi. Selain itu, kebijakan itu juga cenderung kontradiktif dan sekadar menarik simpati publik, seperti kenaikan tunjangan profesi guru, merekrut guru, dan menaikkan gaji yang berkonsekuensi menggerus ruang fiskal.

Pasangan nomor urut satu ini  menargetkan peningkatan belanja negara cukup ambisius hingga  Rp 3.400 triliun atau setara dengan proporsi peningkatan belanja masa pemerintahan SBY selama dua periode. Prabowo-Hatta juga menargetkan menurunkan defisit anggaran hingga 1 persen dan utang luar negeri baru menjadi nol pada 2019. Sayangnya, terlepas dari keterbatasan ruang, target-target fantastis ini tak disertai dengan kebijakan apa yang akan ditempuh mencapai target tersebut.

Sementara kebijakan anggaran pasangan nomor urut dua memang secara spesifik memiliki program penguatan kapasitas fiskal disertai dengan penjabaran kebijakan yang lebih terinci. Namun, program prioritas ini belum disertai target-target yang lebih terukur. Arah politik anggaran pasangan ini cukup jelas menitikberatkan kebijakan pada penguatan daerah sebagai ujung tombak pelayanan publik melalui instrumen desentralisasi fiskal yang bersifat asimetris sesuai kebutuhan daerah. Kebijakan ini dapat dikatakan merupakan terobosan untuk mengatasi kesenjangan pembangunan antardaerah.

Dari sisi institusional, khususnya transparansi anggaran, meskipun secara khusus tidak secara eksplisit memasukkan isu transparansi anggaran, pasangan Jokowi-JK memiliki tujuh prioritas program terkait keterbukaan informasi publik,  dan juga menjamin adanya partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan pemerintah.

Sementara Prabowo-Hatta tidak memiliki program khusus untuk isu institusional terkait peran serta masyarakat dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Terakhir, di luar dari visi-misi kedua pasang capres-cawapres, implikasi politik anggaran ke depan juga dapat dibedah dari ukuran dan fragmentasi koalisi partai politik yang mengusung, di mana semakin besar fragmentasi koalisi partai pendukung berkonsekuensi semakin besar belanja negara yang terfragmentasi dan berakibat pada defisit (Wehner, 2010).

Pengalaman masa pemerintahan SBY, belanja cenderung meningkat setelah dibahas DPR, khususnya pada kementerian-kementerian yang diduduki oleh partai politik koalisi pendukung. Namun, hal ini bisa diantisipasi jika presiden terpilih berani membentuk kabinet kerja, bukan sekadar bagi-bagi kursi kekuasaan dan melubrikasi kepentingan oligarki.

Petahana Senayan

KESUNYIAN yang melanda ”gedung Senayan” akhir-akhir ini sudah dapat diprediksi sebelumnya, yakni ketika sekitar 90 persen penghuninya mencalonkan kembali pada pertarungan politik April mendatang.
Dapat dipastikan para petahana Senayan ini akan berlomba kembali menarik simpati para pemilih dan menebar janji-janji demi mempertahankan kursi empuknya di parlemen.
Sorotan publik terhadap tingkat kehadiran anggota DPR sebenarnya bukan hal baru. Upaya yang dilakukan pun sudah cukup banyak, mulai dari penerapan finger print, penerapan sanksi, sampai wacana potong gaji.
Memasuki tahun politik, menurunnya tingkat kehadiran petahana Senayan menimbulkan persoalan lebih pelik. Negara tidak hanya dirugikan karena harus membayar gaji anggota DPR yang tidak hadir. Praktik ini bisa juga dikatakan sebagai cara-cara korup untuk terpilih kembali, bahkan akan melanggengkan praktik korupsi politik yang akan terus berulang, ketika hampir sebagian besar petahana kembali berlaga pada pemilu mendatang.
Tiga modus

Dalam praktik demokrasi langsung, petahana memang memiliki keuntungan sendiri. Setidaknya ada tiga modus yang menguntungkan petahana legislatif dalam konstestasi mendatang.
Pertama, melalui kebijakan alokasi anggaran yang menguntungkan petahana DPR. Petahana legislatif bisa mengarahkan anggaran dengan motif keuntungan pribadi maupun melayani konstituennya untuk memenangi pemilu (Sutter, 1999). Meski DPR bukan pelaksana anggaran, tetapi dengan fungsi anggaran yang dimilikinya, kebijakan anggaran dapat diarahkan untuk menarik simpati pemilih melalui dana optimalisasi ataupun bantuan sosial.
Dana optimalisasi hasil pembahasan APBN 2014 oleh DPR, misalnya, menghasilkan optimalisasi anggaran sebesar Rp 24 triliun. Meskipun dana ini dikelola kementerian/lembaga dalam bentuk proyek, tetapi melalui negosiasi kepada kementerian/lembaga yang memperoleh dana ini, bisa saja program atau proyeknya diarahkan ke daerah pemilihan (dapil) tertentu. Padahal, dapil tersebut tidak memerlukan program atau proyek itu.
Hal yang sama terjadi pada bantuan sosial, yang jumlahnya meningkat dari Rp 55,8 triliun pada RAPBN 2014 jadi Rp 73,1 triliun setelah dibahas DPR dan ditetapkan menjadi APBN 2014. Terbuka peluang terjadinya transaksi antara anggota legislatif dan kementerian untuk menitipkan bantuan sosial ke arah dapilnya.
Kedua, sebagai petahana, berbagai fasilitas dan tunjangan yang melekat pada DPR tidak bisa dilepaskan pada saat berlaga sebagai calon legislator. Johnston dan Pattie (2009), misalnya, menemukan berbagai fasilitas yang dimiliki petahana legislatif untuk berhubungan dengan konstituen atas nama menjalankan fungsinya, meningkatkan peluang keterpilihan dengan biaya kampanye yang lebih sedikit dibandingkan penantangnya.
Berdasarkan catatan FITRA (2013), terjadi kenaikan anggaran reses DPR tahun 2013 jadi Rp 1,2 miliar per orang untuk 11 kali kunjungan. Dengan dalih kunjungan kerja di luar masa reses, pantas saja gedung DPR akhir-akhir ini makin sunyi, demi melakukan kampanye dengan berbagai fasilitas yang melekat.
Ketiga, dengan sistem pemilu proporsional daftar terbuka, tetapi akuntabilitas laporan dana kampanye berada pada partai politik, ditambah tidak adanya batasan belanja kampanye, juga merupakan faktor pendorong petahana Senayan terjerembab dalam atmosfer korupsi politik. Dengan sistem proporsional terbuka, dorongan persaingan caleg di dalam maupun di luar partai politik, serta ketidakpastian untuk memenangi pemilu, mendorong kecenderungan petahana untuk melakukan korupsi, mencari sumber-sumber dana ilegal untuk membiayai kampanyenya (Chang, 2005).
Tiga modus keuntungan petahana legislatif ini akan menjadi mata rantai korupsi politik yang terus berulang. Banyaknya anggota legislatif periode 2009–2014 yang terjerat kasus korupsi sebenarnya hanyalah puncak gunung es dari korupsi politik di lembaga ini, sekaligus mengonfirmasi sebagai episentrum terjadinya korupsi politik.
Mereka akan terus menciptakan celah-celah yang menguntungkan dirinya agar dapat mempertahankan kursi empuk di legislatif. Dengan sistem politik yang korup, hanya para politisi korup yang dapat memperoleh keuntungan untuk melanggengkan kekuasaanya (Evrenk, 2011).
Memutus mata rantai

Memutus siklus korupsi politik bukan perkara mudah. Salah satu upaya yang dianggap efektif dan diadopsi di banyak negara adalah pembatasan masa jabatan legislatif. Melalui pembatasan masa jabatan untuk dipilih kembali, hal itu akan mengurangi hasrat petahana untuk mengumpulkan biaya kampanye selama menjabat untuk memenangi pemilu berikutnya, karena sudah tidak memenuhi kriteria untuk dipilih kembali lame-duck (Sutter, 1999).
Memang dengan pembatasan masa jabatan untuk dipilih kembali akan mengurangi atau menghilangkan kesempatan politisi baik untuk dipilih kembali dan mengurangi semangatnya untuk bekerja secara serius. Namun, dengan cara ini pemilih akan meningkatkan standar dalam memilih petahana, dan petahana harus berupaya memenuhi standar tersebut jika ingin terpilih kembali (Bernhardt dkk, 2004).
Sebenarnya dari lembaga trias politika di Indonesia, yudikatif dan eksekutif sudah memiliki batasan yang tegas terkait pembatasan masa jabatan untuk mengeliminasi penyalahgunaan kekuasaan. Sayangnya, ini tidak berlaku bagi legislatif.
Padahal, dengan batasan dapat dipilih kembali, kaderisasi di partai politik juga akan berjalan dan dapat mengurangi terjadinya oligarki di partai politik. Pada sisi lain, politisi korup di legislatif, yang juga akibat lingkungan korup dapat dipangkas karena munculnya politisi-politisi baru yang bebas dari kontaminasi para seniornya. Dengan demikian, sistem politik yang korup juga akan terdegradasi dengan sendirinya.
Sangat disayangkan, tahun lalu uji materi terhadap UU Pemilu mengenai batasan jabatan legislatif justru kandas, ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), dengan dalih jabatan legislatif yang bersifat kolegial sehingga kecil kemungkinan melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Sepertinya MK belum melihat realitas korupsi politik di lembaga legislatif ini sebagai bahan pertimbangan dalam putusannya.
Kesempatan berada di tangan rakyat sudah di depan mata. Perhelatan pemilu yang akan digelar pada April mendatang sudah seharusnya menjadi momentum untuk memangkas siklus korupsi politik. Jika pada saat sudah terpilih saja anggota DPR pemalas tidak menjalankan amanat para pemilihnya, lalu apakah layak mereka untuk dipilih kembali?
Yuna Farhan, Peneliti Senior FITRA; Mahasiswa PhD University of Sydney
Dimuat di harian Kompas, 10 Maret 2014

Saturday, March 01, 2014

Korupsi Dana Optimalisasi


Yuna Farhan  ;  Sekretaris Jenderal Fitra;
Salah satu pemohon judicial review UU Keuangan Negara
MEDIA INDONESIA,  20 November 2013

PIDATO pengantar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sidang kabinet berkaitan APBN 2014 (Media Indonesia, 15/11), menyatakan keraguannya atas transparansi dan akuntabilitas dana optimalisasi hasil pembahasan RAPBN 2014 sebesar Rp24 trilyun. Jika ditelusuri lebih jauh, pada dasarnya tidak ada satu pun nomenklatur dalam peraturan perundang-undangan yang menyatakan secara jelas definisi dana optimalisasi. Istilah itu muncul dari kalangan legislatif, dengan dana tersebut diperoleh dari optimalisasi pembahasan proposal anggaran yang diajukan eksekutif, baik dari efisiensi belanja maupun peningkatan target pendapatan. Benar, UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menjamin fungsi anggaran DPR, bahwa DPR dapat mengajukan usul yang dapat mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam RUU APBN, sepanjang tidak melebihi batas defisit.

Persoalan yang muncul kemudian, dana optimalisasi itu tidak memiliki pengaturan peruntukan alokasinya dan baru diputuskan menjelang akhir pembahasan ang garan oleh Banggar DPR. Di situlah titik rawan penyalahgunaan anggaran itu mulai terjadi. DPR bukanlah institusi perencana yang mampu dan memiliki kapasitas menentukan alokasi anggaran program dan kegiatan sehingga tidak mengherankan pengaloka sian dana optimalisasi itu dilakukan secara serampangan untuk sekadar memburu rente, dengan modus menjajakan dana optimalisasi kepada kementerian/lembaga yang ingin mendapatkan tambahan anggaran ataupun membuat mata anggaran baru.

Optimalisasi korupsi

Pada 2010 misalnya, karena tidak memiliki dasar pengalokasian, Badan Anggaran DPR akhirnya memberikan jatah Rp100 miliar pada setiap komisi untuk membahas tambahan anggaran dana optimalisasi dengan mitra komisi masingmasing. Kasus-kasus korupsi terkini juga mengonfirmasikan dana optimalisasi menjadi ajang korupsi. Seperti kasus korupsi Alquran yang memperoleh tambahan dana optimalisasi dari anggaran Rp2,1 miliar menjadi Rp22,8 miliar pada APBN-P 2011. Terakhir anggaran Hambalang yang berturut-turut menerima tambahan dana optimalisasi dari APBN 2010 hingga 2012.

Tidak hanya membuka ruang bancakan anggaran, pengalokasian dana optimalisasi itu juga tidak akan efektif karena tidak direncanakan dengan benar dalam waktu yang relatif singkat atau kurang dari sebulan setelah anggaran dirapatparipurnakan. Padahal seluruh, program dan kegiatan yang dianggarkan eksekutif telah direncanakan melalui mekanisme musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) sejak April.

Lalu bagaimana mungkin, tambah an dana optimalisasi Rp24 triliun dapat direncanakan dalam waktu singkat mampu menghasilkan kegiatan yang efektif dan bermanfaat untuk rakyat. Kementerian PU misalnya, yang mendapatkan tambahan anggaran hingga Rp7 triliun, apakah secara tiba-tiba dapat merencanakan kegiatan, dengan ujung-ujungnya pengalokasian dana itu sekadar untuk menghabiskan atau menyerap anggaran, tanpa memikirkan efektivitasnya.

Ketidaktersediaan waktu untuk membahas peruntukan dana optimalisasi, pada ujung pembahasan anggaran, pada akhirnya hanya menjadikan sidang paripurna penetapan APBN sekadar formalitas. Padahal, jika mengacu aturan yang ada, Sidang Paripurna DPR menetapkan APBN terinci sampai dengan jenis, program, dan kegiatan. Namun, pada praktiknya, berdasarkan hasil pemantauan Fitra, sampai saat ini masih berlangsung pembahasan anggaran yang berasal dari dana optimalisasi pada tingkat komisi dengan mitra kerjanya yang umumnya berlangsung tertutup.

Strategi lain ialah memberikan tanda bintang atau blokir anggaran, dengan catatan bahwa rincian anggaran belum selesai dibahas. Berdasarkan catatan Fitra, pemberian tanda bintang itu pun terus meningkat dari tahun ke tahun, dari Rp63,4 triliun pada APBN 2011, Rp78,5 triliun pada APBN 2012, dan terus membengkak menjadi Rp163,5 triliun pada APBN 2013.

Pemblokiran anggaran itu juga menjadi ajang `penggiringan proyek' kepada pihak tertentu. Kementerian/lembaga yang menginginkan tanda bintang dicabut tentunya harus melakukan lobi-lobi tertutup dengan imbalan atau kesepakatan tertentu, seperti mengharuskan menggunakan kontraktor tertentu untuk menangani proyek di kementerian tersebut. Pencabutan tanda bintang pada mata anggaran, juga terkadang hanya membutuhkan persetujuan pimpinan komisi ataupun anggota banggar di komisi tersebut, sebagaimana terjadi dalam kasus korupsi Hambalang.

Dengan mengingat biaya politik tinggi menjelang Pemilu 2014, bukan tidak mungkin dana optimalisasi ini tidak hanya untuk memperoleh keuntungan pribadi, tetapi juga sebagai motif untuk memenangi pemilu (Sutter, 1999).

Sepanjang diskresi dana optimalisasi itu diserahkan politisi, tidak mengherankan kasus-kasus korupsi baru pembobolan APBN akan terus berlangsung. Beberapa kelompok masyarakat sipil, termasuk Fitra telah mengajukan judicial review UU Keuangan Negara khususnya mengenai persoalan fungsi anggaran terkait dengan dana optimalisasi itu. Namun, sampai kini MK belum memutuskan.

Ke depan dana optimalisasi perlu dibatasi pengalokasiannya. Misalnya, hanya digunakan untuk mengurangi defisit, kegiatan yang direncanakan dalam rencana kerja pemerintah (RKP) dan tidak boleh dialokasikan untuk kegiatan atau proyek baru atau menambah anggaran kegiatan tertentu. ●

Friday, May 17, 2013

Politisasi Anggaran Tahun Pemilu


Beberapa minggu terakhir, wacana kenaikan harga bahan bakar minyak dan menteri yang mencalonkan sebagai anggota legislatif menghiasi wajah berbagai media. Menjelang kontestasi Pemilu 2014, kedua isu ini memiliki keterkaitan yang kuat.
Dalam literatur politik ekonomi, kajian yang mengaitkan siklus pemilu dengan kebijakan fiskal dikenal sebagai political budget cycles (PBCs). Dalam kaitan ini, sudah menjadi fenomena umum petahana kerap menggunakan instrumen kebijakan anggaran menjelang pemilu untuk mendongkrak keterpilihannya kembali (Roggof, 1990).
Politisasi anggaran menjelang pemilu hadir melalui berbagai bentuk. Sebutlah seperti perubahan pola pada struktur anggaran secara agregat ataupun spesifik.
Manipulasi fiskal
Menjelang pemilu, penerimaan anggaran akan cenderung menurun dan belanja meningkat dengan diikuti defisit yang besar. Secara khusus, kenaikan belanja-belanja sosial dan yang bersifat ekspansi ekonomi juga sebagai penanda eksistensi PBCs.
Boleh jadi pemilih lebih peduli pada belanja publik yang dialokasikan lebih besar daripada kondisi defisit yang terjadi. Rakyat kebanyakan lebih nyaman dengan belanja infrastruktur padat karya dan dana bantuan langsung tunai (BLT) meskipun utang negara terus meningkat.
Kehadiran manipulasi fiskal di tahun pemilu dapat terjadi pada negara berkembang dan baru dalam berdemokrasi. Tingkat korupsi yang tinggi, terjadinya asimetri informasi anggaran, diskresi fiskal pada eksekutif, dan polarisasi politik juga menjadi media suburnya praktik PBCs (Alt dan Lassen, 2005; Streb, Lema, dan Torrens, 2005). Kriteria tersebut terpenuhi dalam konteks Indonesia saat ini.
Tarik ulur opsi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang telah genap berumur satu tahun dibahas sejak APBN Perubahan 2012 mendeskripsikan kebijakan fiskal lebih kental didominasi pertimbangan politik kekuasaan menjelang pemilu. Meskipun UU APBN 2013 memberikan diskresi kepada pemerintah untuk mengurangi beban subsidi BBM, pemerintah tidak serta-merta berani mengambil risiko kehilangan popularitas menjelang pemilu karena kebijakan ini.
Melempar persoalan ini ke legislatif merupakan langkah aman. Tujuannya, getah dari kebijakan tidak populer ini tidak menjadi sasaran pada partai berkuasa saja, tetapi merupakan keputusan bersama seluruh partai politik di DPR. Sementara DPR berada pada posisi dilematis. DPR mau tidak mau harus menyetujui kenaikan harga BBM bersubsidi atau defisit akan jebol, dan BLT sebagai kompensasinya. BLT dianggap sebagai obat mujarab menangkal kekecewaan publik.
Kalkulasi politiknya, kenaikan harga BBM secara signifikan tak akan memengaruhi preferensi pemilih di kalangan kelas menengah. Sebagai kompensasinya, BLT yang terbukti efektif menjadi instrumen menarik simpati pemilih pada pemilu lalu dapat digunakan kembali hingga menjelang Pemilu 2014. Kalangan masyarakat awam dengan literasi fiskal rendah akan sangat sulit membedakan terjadinya politisasi kebijakan BLT.
Jika ”manipulasi fiskal” absen, akan muncul bentuk lain untuk memengaruhi pemilih walaupun tidak mengubah seluruh anggaran, melainkan cukup komposisi anggaran. Dalam konteks ini, PBCs dapat hadir dalam bentuk peningkatan belanja sosial seperti BLT dengan target kalangan miskin.
Menteri menjadi caleg
Sinyalamen ini juga terlihat dari adanya kenaikan bantuan sosial pada 10 kementerian yang dikuasai enam partai politik koalisi. Fitra (2012) melihat kecenderungan adanya kenaikan bantuan sosial pada 10 kementerian tersebut dari Rp 22 triliun pada tahun 2012 menjadi Rp 26,5 triliun tahun 2013.
Karena itu, terbuka peluang menteri yang juga calon anggota legislatif (caleg) melakukan manipulasi fiskal sebagai instrumen kampanye. Dalam konteks tersebut, petahana tidak hanya terdefinisi sebagai pejabat yang mencalonkan kembali untuk jabatan yang sama, tetapi juga mereka berniat mempertahankan posisi sosial eksklusif kelompoknya pada pemerintahan melalui akses terhadap sumber-sumber kekayaan, sebagaimana istilah oligarki yang dikemukakan Winters (2011).
Tidak hanya dalam bentuk bantuan sosial, menteri calon anggota legislatif juga dapat mengakses sumber-sumber lain yang berasal dari anggaran negara. Menteri dapat memanfaatkan iklan layanan masyarakat kementeriannya untuk melakukan kampanye gratis. Misalnya, menampilkan keberhasilan kinerjanya ataupun program-program populis untuk mendongkrak keterpilihannya.
Boleh jadi praktik ini tidak dianggap ”tabu” dan menjadi kewajaran politik. Pasalnya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD justru memberikan legalisasi melalui pengecualian bakal calon anggota legislatif yang masih menjabat sebagai menteri tidak diharuskan untuk mengundurkan diri.
Meski kerangka hukum yang tersedia tidak memadai, praktik ini mencederai asas pemilu yang adil, alih-alih akan memperkuat kaum oligarkis dan para kartel politik melakukan pembajakan negara.
Bencana demokrasi
Dengan banyaknya kasus korupsi yang melibatkan elite politik saat ini, bukan tidak mungkin premis Winters mengenai oligarki di Indonesia mengalami perwujudannya. Tidak hanya PBCs—siklus anggaran politik—yang akan terjadi, tetapi juga tingkatan yang paling ekstrem, yakni menjadi political corruption cycle atau siklus korupsi politik pada tahun-tahun pemilu.
Dengan model politik oligarki seperti itu, sulit mengharapkan legislatif menjalankan mekanisme check and balance dapat bekerja efektif. Karena itu, diperlukan ruang untuk mengisi mekanisme penyeimbang untuk menguji kebijakan fiskal yang diambil pemerintah. Pemilih harus memperoleh informasi fiskal yang simetri sehingga dapat menilai apakah kebijakan fiskal sesuai dengan realitas atau sekadar alat merebut hati konstituen.
Jika tidak, demokrasi yang seharusnya bisa menjadi alat untuk mencapai cita-cita bernegara malah berbalik arah menjadi bumerang. Bencana demokrasi akan terus menimpa bangsa ini jika elite politisi oportunis kembali berkuasa mengeruk uang negara yang ongkosnya pun berasal dari negara dengan instrumen ”manipulasi fiskal”.
Mungkinkah politisasi anggaran efektif bekerja pada Pemilu 2014? Hanya dua kemungkinan bisa terjadi, sesuai temuan Brender dan Drazen (2003): pertama, sudah terbukti secara luas dapat mendukung perolehan suara; kedua, pemilih justru menghukum petahana yang melakukan manipulasi fiskal. 

Yuna Farhan
SekJen FITRA
Dimuat Harian Kompas, 16 Mei 2013

Tuesday, May 14, 2013

Sandera Pegawai pada APBD

PENGELOLAAN keuangan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah (otoda) merupakan denyut nadi untuk mencapai tujuan otoda. Namun, alih-alih menjadi instrumen untuk menyejahterakan masyarakat daerah, APBD tersandera oleh beban belanja birokrasi daerah yang kian besar dari tahun ke tahun.

Berdasar kajian Fitra (2012), pada 2011 terdapat 298 daerah yang mengalokasikan separo lebih APBD untuk belanja pegawai, lalu meningkat menjadi 302 daerah pada 2012. Bahkan, 11 daerah mengalokasikan lebih dari 70 persen anggaran untuk belanja pegawai. Akibatnya, belanja modal untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sangat sempit.

Lebih repot lagi, Februari lalu presiden mewacanakan untuk menaikkan gaji 1.040 kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang dengan sadar atau tidak juga akan menaikkan gaji 15.000 anggota DPRD di seluruh Indonesia. 

Persoalan itu tidak semata-mata kesalahan daerah. Sistem desentralisasi fiskal yang berlaku menjadi akar besarnya beban belanja pegawai, khususnya pada kabupaten/kota. Rata-rata daerah mengandalkan 80 persen sumber pendapatannya dari dana perimbangan yang berasal dari pusat. Padahal, 70 persen di antaranya hanya sudah bersifat earmarked untuk membiayai pegawai, misalnya dana alokasi umum (DAU) serta tunjangan penghasilan guru. 

DAU justru memberikan insentif terhadap membengkaknya belanja pegawai sekaligus disinsentif bagi daerah yang belanja pegawainya efisien karena tidak ingin jatah DAU berkurang. Formula perhitungan DAU dengan mempertimbangkan kebutuhan belanja pegawai sebagai alokasi dana dasar memicu daerah tidak ambil pusing untuk membiayai atau merekrut pegawai baru dan memekarkan diri. 

Ruang fiskal yang bisa digunakan daerah untuk menyejahterakan masyarakatnya juga sangat terbatas. Sebagian besar anggaran daerah sudah bersifat terikat, misalnya DAU yang lebih banyak digunakan oleh pegawai, DAK yang sudah ditetapkan peruntukannya, begitu pula dana penyesuaian seperti BOS dan tunjangan guru. 

Sementara hanya sebagian kecil kabupaten/kota yang memperoleh DBH (dana bagi hasil). Daerah juga diwajibkan memberikan dana pendamping DAK 10 persen dan dana pendamping PNPM (program nasional pemberdayaan masyarakat) 20 persen-40 persen. Praktis kondisi itu menggambarkan daerah tak lebih hanya sebagai "tukang catat" anggaran pada APBD-nya. 

Sedangkan menggali sumber pendapatan asli daerah sulit dilakukan. Mengingat taxing power atau kewenangan daerah memungut pajak dibatasi karena bersifat closed list sesuai dengan UU No 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Penyanderaan itu terjadi bukan karena kelebihan jumlah pegawai. Jika dibandingkan dengan negara lain, rasio pegawai negeri terhadap penduduk di Indonesia belum ideal, bah­kan lebih rendah daripada negara-negara tetangga. Namun, lebih kepada pemerataan dan model pembiayaan pegawai yang tidak efektif. 

Wacana pemerintah untuk membatasi belanja pegawai daerah maksimal 50 persen dari APBD tidak serta-merta bisa menyelesaikan beratnya beban daerah, sepanjang dana transfer dari pusat memang dalam bentuk belanja pegawai dan memberikan insentif terhadap penggemukan birokrasi. 

Bervariasinya tingkat kepadatan dan jumlah penduduk, kondisi geografis, serta kemampuan keuangan daerah tidak bisa diselesaikan secara simetris melalui pembatasan belanja pegawai. Justru bisa saja daerah yang belanja pegawainya sudah efisien akan meningkatkan hingga batas 50 persen. 

Perlu diuji solusi mengalihkan beban belanja pegawai kabupaten/kota ke provinsi. Pertama, karena kapasitas fiskal provinsi jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kabupaten/kota. Rata-rata pendapatan provinsi 50 persen bersumber dari PAD. Juga taxing power yang dimiliki provinsi lebih besar, misalnya pajak kendaraan bermotor, hotel, dan restoran. 

Kedua, skala kewenangan yang dimiliki provinsi lebih sedikit jika dibandingkan dengan kabupaten/kota yang harus melakukan pelayanan publik secara langsung. Kewenangan provinsi lebih banyak pada urusan lintas kabupaten/kota. Sebagai wakil pusat, kebanyakan kewenangan provinsi bersifat supervisi, koordinasi, monitoring, dan evaluasi. Tidak heran, selama ini potret belanja provinsi lebih banyak dialokasikan dalam bentuk belanja bantuan keuangan pada kabupaten/kota. Beban belanja pegawai provinsi juga jauh lebih sedikit, rata-rata hanya 18 persen pada 2012.

Ketiga, pengalihan belanja pegawai ke provinsi menjadikan peran dan kewenangan provinsi lebih jelas sebagai wakil pemerintah pusat. Provinsi bisa mengatur pengendalian dan pemerataan pegawai dari sisi kuantitas dan kualitas. Pemerintah pusat juga akan lebih mudah dalam melakukan reformasi birokrasi. Dengan rentang kendali pada tingkat provinsi, pusat dapat meminimalkan terjadinya politisasi birokrasi. Juga perlu diikuti dengan adanya perubahan skema dana perimbangan ke provinsi dan kabupaten/kota yang berorientasi pada besarnya skala kewenangan dan cakupan layanan publik. 

Revisi RUU Pemda yang saat ini dalam tahap pembahasan di DPR sudah seharusnya dapat menyelesaikan penyanderaan birokrasi anggaran daerah demi kesejahteraan masyarakat.


Yuna Farhan
Sekretaris Jenderal FITRA & Anggota Kelompok Kerja Otoda

Dimuat di Harian Jawa Pos, Senin 13 Mei 2013